| 325 Views
Fasilitas Jalan Jadi Lahan Bisnis dalam Sistem Kapitalis

Oleh: Ita Husnawati
Pemerhati Kebijakan Publik
Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) mengumumkan rencana kenaikan tarif jalan tol pada Kuartal I-2024. Kepala BPJT, Miftachul Munir menyatakan kenaikan tarif tol akan dilakukan jika sudah memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) atau Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk setiap ruas tol dan dilakukan secara bertahap. Adapun ruas tol yang akan mengalami kenaikan tarif sebanyak 13. Penyesuaian tarif tol ini didasarkan pada UU Jalan No. 2 tahun 2022, perubahan kedua atas UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Penyesuaian dilakukan setiap dua tahun sekali. (Kompas TV, 16/1/2024).
Fakta kenaikan tarif tol ini menunjukkan bahwa jalan tol dibangun dengan prinsip bisnis, bukan pelayanan maksimal untuk rakyat. Dalam UU Jalan No. 2 tahun 2022 pun tertuang bahwa pengguna jalan tol harus membayar, jika tidak akan terkena sanksi. Hal tersebut senada dengan definisi jalan tol (tollway) itu sendiri, yaitu jalan yang dikenakan tarif untuk melintasinya sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Pembayaran diterapkan untuk menutupi biaya pembangunan dan perawatan jalan. Berbeda dengan freeway yang merupakan jalan bebas hambatan tanpa berbayar. Berdasarkan undang-undang juga, penyelenggara pembangunan jalan tol, tidak harus pemerintah, tapi boleh swasta. Ditinjau dari sejarahnya, sejak jaman kuno, abad pertengahan hingga abad ke-19, pencetus adanya jalan tol adalah negara India, Eropa, Inggris dll. (https://id.wikipedia.org, 03/02/2024).
Jalan tol menjadi salah satu lahan bisnis yang menguntungkan. Saat ini jalan tol dikuasai oleh beberapa korporat, diantaranya: PT Jasa Marga (Persero) Tbk yang merupakan BUMN, pemiliki pangsa pasar sebesar 51% di seluruh Indonesia. Kemudian PT Hutama Karya (Persero), sebagai Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) pemegang konsesi tol terpanjang di Indonesia. BUJT ini mendapatkan mandat dari Pemerintah untuk membangun Jalan Tol Trans-Sumatera (JTTS). Selanjutnya PT Waskita Karya (Persero) Tbk telah mengelola 10 jalan tol dengan panjang 558,5 kilometer melalui anak usaha PT Waskita Toll Road (WTR). Berikutnya Astra Infra, perusahaan swasta yang menjadi salah satu BUJT dengan jalan tol yang cukup panjang yaitu 357,6 kilometer dengan kepemilikan saham di tujuh BUJT. Pemilik tol dari swasta lainnya, yaitu PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk atau CMNP. Dari ruas jalan tol yang dibangun dan telah beroperasi, diketahui konsesi jalan tol milik perseroan membentang 144,21 kilometer.(www.cnbcindonesia, 17/11/2022)
Jalan adalah fasilitas umum yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk berbagai kepentingan mobilitas, misalnya silaturrahim, berobat, menjenguk orang sakit, membawa jenazah, menempuh pendidikan, bekerja mencari nafkah, beribadah haji, berbisnis, berwisata, menikah, menghadiri undangan, bahkan melahirkan dan sebagainya. Allah berfirman:
“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl [16]: 15)
Jalan adalah karunia Allah yang diberikan untuk manusia agar mendapat petunjuk. Pembangunan jalan yang berkualitas, memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tapi bukan berarti jalan menjadi sesuatu yang diperjual-belikan. Sebaliknya, jalan seharusnya disediakan oleh pemerintah dengan kualitas terbaik, agar ketika masyarakat dapat menggunakannya dengan aman dan nyaman, tanpa rasa khawatir terjatuh dan tanpa harus mengluarkan biaya yang mahal. Adapun pembiayaannya diambil dari kas negara yang bersumber dari harta milik umum dan milik negara, diantaranya berupa sumber daya alam (SDA) yang dikelola oleh negara, bukan oleh swasta, apalagi swasta asing. Indonesia memiliki SDA yang melimpah, mulai tambang emas, minyak bumi, hutan, hingga lautan. Jika SDA tersebut diklola oleh negara, tentu hasilnya sangat cukup untuk mmbangun infrastruktur, termasuk jalan berkualitas yang bisa dinikmati masyarakat dengan gratis. Namun saat ini tragis, infrastruktur pun ada yang dibangun dengan utang dari investor. Begitulah penerapan sistem kapitalis. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator, bukan ra’in (pengurus umat) yang tulus mengurusi umat dan siap mempertanggungjawabkan kepengurusannya di hadapan Allah SWT.
Sistem pemerintahan Islam yang sudah diterapkan sejak zaman Rasulullah SAW hingga khalifah terakhir, tidak pernah ditemukan dalam sejarahnya, bahwa orang yang melintasi jalan tertentu harus membayar. Bahkan Umar bin Khattab r.a. sebagai kepala negara (Khalifah), sangat khawatir jika ada binatang yang terpeleset ketika melalui suatu jalan. Beliau sangat takut dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah terkait fasilitas jalan. Oleh karena itu, dalam Islam, fasilitas jalan sama dengan fasilitas pendidikan dan kesehatan, semua itu harus disediakan oleh negara dan bisa diakses oleh masyarakat secara gratis. Sehingga pendapatan masyarakat bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraannya, tidak banyak pengeluaran untuk membayar sesuatu yang memang haknya. Bahkan pemerintahan Islam menyediakan bekal di tempat singgah untuk para musafir secara gratis, mungkin saat ini setara dengan rest area, tapi serba gratis. Jadi, sistem pemerintahan Islam sangat urgent untuk segera diwujudkan, agar keindahan Islam terpancar kembali. Wallahu A’lam.