| 14 Views
Evakuasi Rakyat Gaza ke Indonesia Memuluskan Agenda Penjajah

Oleh : Rizka Zulfia U
Gelombang evakuasi warga sipil Gaza ke berbagai negara, termasuk Indonesia, memicu perdebatan panas di tengah masyarakat dan komunitas internasional. Di balik upaya kemanusiaan yang tampak mulia, sejumlah pengamat menilai bahwa langkah ini justru memuluskan agenda penjajahan yang tengah berlangsung di Palestina, (Republika.co.id, 3 April 2024)
Sejak eskalasi kekerasan terbaru di Jalur Gaza, ribuan warga sipil, terutama perempuan, anak-anak, dan lansia, terpaksa meninggalkan rumah mereka. Indonesia, sebagai negara yang selama ini vokal membela kemerdekaan Palestina, membuka pintu bagi sejumlah pengungsi atas nama solidaritas dan kemanusiaan. Namun, banyak pihak menilai bahwa evakuasi besar-besaran merupakan bagian dari strategi pengosongan wilayah oleh Israel. (Tempo, 22 April 2025) "Ini adalah bentuk pengusiran paksa yang disamarkan sebagai evakuasi kemanusiaan.
Ketika rakyat Gaza diungsikan, tanah mereka menjadi kosong dan lebih mudah dicaplok," ujar Fadli Rahman, pengamat politik Timur Tengah dari Universitas Nasional, sebagaimana dikutip oleh Tempo.co dalam laporan berjudul "Evakuasi Warga Gaza Bisa Legitimasi Penjajahan, Ini Kata Pengamat", terbit 17 April 2025.
Pernyataan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto bahwa Indonesia siap menerima 1.000 warga Gaza pun dinilai sebagai bentuk konkret dari kontribusi terhadap agenda tersebut. Bagi sebagian kalangan, pernyataan ini bukan hanya keliru secara politik, tapi juga kontra produktif dengan seruan jihad yang tengah menggema di kalangan umat Islam.
"Evakuasi rakyat Gaza makin menjauhkan dari solusi hakiki. Justru Zionis lah yang melakukan pendudukan dan perampasan wilayah, merekalah yang seharusnya diusir dari tanah Palestina, bukan rakyat Gaza yang dievakuasi," ujar Ahmad Zaki, aktivis pemikir dunia Islam. (Sumber: HTI Press, 2 April 2024)
Lebih dari itu, ada dugaan bahwa kebijakan ini tidak lepas dari tekanan Amerika Serikat terhadap Indonesia. Di tengah kebijakan baru AS yang menaikkan tarif impor dari sejumlah negara termasuk Indonesia, keberhasilan negosiasi perdagangan bisa saja ditukar dengan "kebaikan politik" berupa penerimaan pengungsi Gaza. Inilah buah simalakama yang dihadapi negeri yang bergantung pada kekuatan asing.
Sementara itu, seruan jihad yang disuarakan oleh banyak tokoh dan kelompok umat Islam justru tidak mendapat respons serius dari para pemimpin negeri-negeri Muslim. Alih-alih menggerakkan kekuatan militer untuk membantu saudara-saudaranya yang tertindas, mereka justru berlindung di balik dalih nasionalisme sempit dan prinsip non-intervensi urusan negara lain.
Sikap ini dinilai sebagai bentuk nyata pengkhianatan terhadap amanah umat. Padahal, jihad fi sabilillah bukan sekadar reaksi emosional, melainkan kewajiban syar’i ketika kehormatan dan nyawa umat Islam diinjak-injak.
Sejumlah solusi jangka pendek seperti bantuan logistik, tekanan diplomatik, hingga evakuasi sementara mungkin dapat meredakan penderitaan sesaat. Namun solusi tersebut belum menyentuh akar persoalan, yaitu keberadaan penjajah Zionis di tanah Palestina dan ketidakmampuan umat Islam untuk memberikan perlindungan nyata.
Maka dari itu, solusi hakiki hanya dapat diwujudkan melalui kebangkitan kepemimpinan Islam global yang menyatukan seluruh kekuatan politik, militer, dan ekonomi umat — yakni Khilafah.
Dengan hadirnya Khilafah, dukungan terhadap Palestina tidak lagi bersifat simbolik atau retoris, melainkan diwujudkan dalam langkah strategis dan operasional. Khilafah akan mengirimkan pasukan, mengerahkan diplomasi keras, memutus hubungan dengan penjajah, dan membebaskan wilayah-wilayah yang terjajah sebagai bentuk tanggung jawab terhadap umat dan syariat Islam.
"Selama umat Islam tidak memiliki satu komando kepemimpinan, penderitaan Palestina hanya akan jadi isu tahunan. Khilafah adalah solusi strategis jangka panjang yang mampu mengubah peta kekuatan dunia," tambah Zaki (Sumber: ipii.org, 10/04/2024)
Umat Islam perlu terus didorong untuk menolak narasi evakuasi yang menjauhkan rakyat Gaza dari tanahnya sendiri. Sebaliknya, umat harus menyeru para penguasa negeri-negeri Muslim untuk mengirimkan tentara demi membebaskan Palestina.
Pada saat yang sama, perjuangan untuk menegakkan Khilafah harus terus digelorakan. Gerakan ini membutuhkan kepemimpinan partai Islam ideologis yang menjaga agar arah perjuangan tetap di jalur yang benar, tidak pragmatis, dan memiliki kekuatan untuk mendorong penguasa mengambil langkah nyata.
Dengan kombinasi kesadaran ideologis, kekuatan umat, dan kepemimpinan Islam sejati, pembebasan Palestina bukanlah utopia. Itu adalah keniscayaan sejarah yang hanya menunggu momentum.