| 208 Views
Ekonomi Biru Berkelanjutan (Suistanable Blue Economy), Untuk Siapa?

Oleh : Aisyah Fahra
Ekonomi biru, atau yang juga dikenal sebagai ekonomi laut atau ekonomi maritim merujuk pada pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk peningkatan ekonomi, perbaikan kehidupan masyarakat, serta kesehatan ekosistem laut. Ekonomi biru meliputi beberapa sektor yaitu perikanan, akuakultur, pelayaran, energi, pariwisata, dan bioteknologi kelautan. Ekonomi biru berpotensi menurunkan angka kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan yang saat ini menjadi perhatian dari berbagai pihak seperti pembuat kebijakan, akademisi, dan berbagai pemangku kepentingan.
Ekonomi Biru di Indonesia
Dalam kekacauan konseptual dan bias kepentingan, ekonomi biru dikampanyekan oleh pemerintah Indonesia dalam berbagai forum internasional, sekaligus diarusutamakan dalam pembangunan ekonomi kelautan, khususnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Apalagi dengan adanya perubahan atau regulasi-regulasi baru yang semakin membuat rakyat Indonesia yang mencari uang dari laut semakin terpojok. Contohnya adalah penarikan pemasukan negara bukan pajak (PNBP) Pasca-Produksi dan juga rumusan Pasal 27 angka 10 UU Cipta Kerja mempertahankan Pasal 30 UU Perikanan yang membuka akses penangkapan ikan oleh kapal ikan asing di ZEE Indonesia yang berpotensi kuat menyebabkan eksploitasi sumber daya ikan Indonesia secara besar-besaran oleh pihak asing. Selain itu, Pasal 27 angka 15 UU Cipta Kerja menghapus kewajiban penggunaan awak kapal berkewarganegaraan Indonesia sebesar 70% di satu kapal ikan berbendera asing yang beroperasi di Indonesia. Dengan penghapusan kewajiban ini, maka dimungkinkan kapal ikan asing yang beroperasi di Indonesia menggunakan 100% ABK asing.
Tambang laut, misalnya, hanya menguntungkan 66 perusahaan asing, baik yang menjadi calon pembeli pasir laut seperti Singapura, China, Johor (Malaysia), dan Brunei, juga pemilik kapal isap asing seperti dari Belanda, Belgia, Jepang, Singapura, dan China. Langkah ini merupakan kontradiksi besar karena pemerintah sering jualan wacana “keberlanjutan di laut” di berbagai forum internasional di bawah payung ekonomi biru.
Pertambangan pasir laut sesungguhnya tidak menguntungkan, melainkan merugikan. Kebijakan ini tidak akan mampu mewujudkan Indonesia pada tahun 2045 seperti selama ini digembar-gemborkan, termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Sebaliknya, melalui obral pasir laut ini, Indonesia Emas Tahun 2045 lebih layak disebut sebagai Indonesia Cemas 2045, karena pertambangan pasir laut hanya akan melahirkan kerusakan ekologis yang berdimensi luas dan jangka panjang, termasuk melanggengkan kemiskinan bagi Masyarakat pesisir.
Dari pemaparan diatas, jelas sekali telah terjadi kapitalisasi ekonomi biru berkelanjutan. Isu yang digulirkan dari konsep awal ekonomi biru adalah perlindungan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir, tetapi pembahasan yang diangkat dalam forum-forum global telah bergeser ke arah komersialisasi dan liberalisasi potensi laut.
Hal ini tidak terlalu mencengangkan, mengingat ideologi dunia yang ada saat ini adalah kapitalisme yang sangat menguntungkan pemiliki modal. Para kapital tidak akan mengambil kebijakan kecuali dianggap menguntungkan. Ketika mereka berhasil mengeruk kekayaan tambang, mereka akan terus mencari peluang lainnya, yaitu laut dan seluruh biota yang ada di dalamnya. Semua dilakukan demi keuntungan.
Meski teori yang diajukan adalah kembali pada alam dan menjaganya, tidak ada ceritanya akan membuat bumi ini menjadi lebih baik. Sudah sifat kapitalisme yang rakus dan cenderung merusak, sebagaimana ketika merampas tambang dari perut ibu pertiwi. Penyelesaian yang ditawarkan pun sebatas solusi tambal sulam. Asal ada keuntungan, semua akan dilakukan.
Penglolaan Sumber Daya Alam Dalam Islam
Sektor kelautan dan tambang migas yang depositnya cukup banyak dalam sistem ekonomi Islam masuk kategori milik umum. Dalam sistem kapitalis, kepemilikan umum ini bisa diserahkan kepada swasta atau individu. Sebaliknya, dalam pandangan Islam harta milik umum atau milik rakyat wajib dikelola oleh negara. Rasulullah saw. telah menjelaskan sifat kebutuhan umum tersebut dalam sebuah hadis. Nabi saw. bersabda, “Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud).
Dalam penuturan Anas ra. hadis tersebut ditambah dengan redaksi: wa tsamanuhu haram (harganya haram). Artinya, dilarang untuk diperjualbelikan.
Barang-barang tambang seperti minyak bumi beserta turunannya seperti bensin, gas, dan lain-lain, termasuk juga listrik, hutan, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai dan laut semuanya telah ditetapkan oleh syariah sebagai kepemilikan umum. Negara mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk rakyat. Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan dengan dua cara :
Pertama: Pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum. Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar dll bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum. Dalam konteks ini negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemadaratan bagai masyarakat.
Kedua: Pemanfaatan di bawah pengelolaan Negara. Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat—karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar—seperti minyak bumi, gas alam dan barang tambang lainnya dikelola oleh negara. Negaralah yang berhak untuk mengelola dan mengeksplorasi bahan tersebut. Hasilnya dimasukkan ke kas Baitul Mal. Khalifah berwenang mendistribusikan hasil tambang dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi kemaslahatan umat.
Dalam mengelola kepemilikan tersebut, negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat—untuk konsumsi rumah tangga—dengan mendasarkan pada asas mencari keuntungan semata. Harga jual kepada rakyat hanya sebatas harga produksi, Namun, boleh menjualnya dengan mendapatkan keuntungan yang wajar jika dijual untuk keperluan produksi komersial. Jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri, boleh Pemerintah mencari keuntungan semaksimal mungkin.
Hasil keuntungan penjualan kepada rakyat untuk kepentingan produksi komersial dan expor ke luar negeri digunakan :
Dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran dan distribusi.
Dibagikan kepada kaum Muslim atau seluruh rakyat. Pemerintah boleh membagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah, dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan. Barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi rakyat, misalnya Emas, Perak, Tembaga, Batu Bara dijual ke luar negeri dan keuntungannya—termasuk keuntungan pemasaran dalam negeri—dibagi keseluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang, atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis, dan pelayanan umum lainnya.