| 239 Views

Efektivitas Subsidi dan Bansos di Tengah Kenaikan PPN : Solusi atau Beban?

Oleh : Fauziyah Ainun
Aktivis Dakwah

Dilansir dari cnbcindonesia.com Pemerintah baru saja mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Salah satu kebijakan yang diumumkan yaitu terkait pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas listrik dan air. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pada 2025 pemerintah membebaskan PPN atas listrik dan air dengan nilai Rp. 14,1 triliun.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menjelaskan, pembebasan PPN atas Listrik tersebut berlaku untuk 99,5% pelanggan Listrik Perseroan. Pasalnya, pelanggan rumah tangga dengan daya di bawah 6.600 VA masih mendominasi yakni mencapai 84 juta pelanggan PLN.
Selain pembebasan PPN Listrik, pemerintah juga memutuskan untuk memberikan diskon 50% tarif lisrtik untuk pelanggan 2.200 watt ke bawah. Darmawan menyebut, diskon 50% tarif listrik ini berlaku pada 81,4 juta pelanggan listrik PLN, terdiri dari 24,6 juta pelanggan listrik 450 watt, 38 juta pelanggan 900 watt, 14,1 juta pelanggan 1.300 watt dan 4,6 juta pelanggan 2.200 watt. 

Dilansir dari Merdeka.com Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menegaskan, bahwa kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% tetap memperhatikan perlindungan bagi pekerja atau buruh, khususnya mereka yang bekerja di sektor padat karya dan yang terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Menurutnya, pemerintah telah menyiapkan berbagai program sebagai bentuk mitigasi untuk mendukung kesejahteraan pekerja dan buruh di tengah implementasi kebijakan tersebut. “Kenaikan bersifat selektif. Mereka yang mampu akan membayar pajak lebih banyak, sementara masyarakat yang tidak mampu akan mendapatkan perlindungan penuh dari negara,” ujar Yassierli dalam keterangannya, Sabtu (21/12).
Yassierli menjelaskan, untuk pekerja di sektor padat karya, Menaker menyampaikan bahwa pemerintah memberikan insentif berupa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi pekerja dengan penghasilan hingga Rp. 10 juta per bulan. Selain itu, iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang ditanggung BPJS Ketenagakerjaan juga di diskon 50% selama 6 bulan guna meringkan beban perusahaan dan pekerja.
Selanjutnya, bagi pekerja yang terkena PHK, pemerintah menawarkan dukungan melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Program ini meliputi manfaat tunai sebesar 60% flat dari upah selama 5 bulan, pelatihan senilai Rp. 2,4 juta, serta kemudahan akses ke Program Prakerja.

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang direncanakan pemerintahan mulai 2025 menjadi isu strategis yang memerlukan kebijakan mitigasi yang matang. PPN adalah pajak konsumsi yang bersifat regresif, sehingga peningkatannya cenderung membebani kelompok berpengasilan rendah dibanding kelompok lain. Dalam konteks ini, bansos/bantuan sosial dan subsidi menjadi dua instrumen penting untuk menjaga daya beli masyarakat sekaligus memitigasi dampak negatif terhadap perekonomian. 
Dampak kenaikan PPN terhadap masyarakat yaitu: Menurunkan daya beli masyarakat miskin, memicu inflasi yang lebih tinggi, pertumbuhan ekonomi menjadi lambat karena potensi perlambatan konsumsi dan timbulnya efek multiper negatif atau sektor usaha terdampak karena turunnya permintaan. 
Kenaikan PPN adalah satu konsekuensi dalam sistem kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara untuk membiayai proyek pembangunan. Mirisnya, hasil pembangunan tak dinikmati semua rakyat. Bantuan dari pemerintah seperti subsidi dan bansos untuk rakyat sebagai kompensasi kenaikan PPN, sejatinya tidak akan meringankan beban rakyat. Kebijakan ini kebijakan populis otoriter yang merupakan kebijakan tambal sulam dalam sistem kapitalis yang memang tidak menyelesaikan masalah. 

Dalam syariat Islam, solusi untuk mengatasi masalah ekonomi termasuk dampak dari kebijakan seperti kenaikan pajak atau inflasi adalah dengan berlandaskan prinsip keadilan, kesejahteraan sosial, dan distribusi kekayaan yang merata. Islam akan menghapus pajak yang membebani masyarakat, khususnya yang miskin, karena dianggap tidak adil. Sebagai gantinya, Islam mendorong penerapan sumber pendapatan negara yang syari seperti Zakat, Kharaj dan Jizyah. Syariat Islam melarang penimbunan kekayaan (Kanz) dan mendorong perputaran kekayaan di tengah masyarakat, misalnya dengan penerapan sistem Hibah dan Wakaf. Islam juga mengatur bahwa Sumber Daya Alam (SDA) yang penting bagi kehidupan umum seperti air, energi, dan tambang adalah milik rakyat dan dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Nabi SAW bersabda :
"Manusia memiliki hak bersama dalam 3 hal : air, padang rumput dan api" (H.R Abu Dawud).
Dengan demikian, sektor-sektor strategis tidak boleh diswastakan sepenuhnya atau dijadikan sumber keuntungan bagi segelintir pihak saja. Selain itu, Islam juga mengajarkan prinsip ekonomi yang mengutamakan keadilan seperti harga kebutuhan rakyat tetap terjangkau dan menghapus kesenjangan sosial. Kemudian adanya tanggung jawab menjaga kesejahteraan masyarakat bukan hanya pada negara tetapi juga individu dengan infaq dan sedekah serta pemberian pinjaman tanpa bunga (Qardh Hasan) pada rakyat yang sulit ekonomi. Di tambah adanya pelarangan praktik yang merusak ekonomi seperti Ikhtikar (penimbunan barang untuk menaikan harga yang merugikan rakyat dan menimbulkan inflasi), Gharar (transaksi yang mengandung ketidakpastian tinggi atau) atau Judi yang dapat merusak ekonomi.

Kepemimpinan yang amanah pun sangat di tekankan dalam Islam. Karena itu pemimpin harus bertanggung jawab penuh dalam mengelola dan mengurus urusan rakyat serta memprioritaskan kesejahteraan rakyat, termasuk pengelolaan sumber daya dan penerapan kebijakan ekonomi atau kebijakan lainnya yang tak membebani rakyat. Seperti sabda Nabi SAW:
"Imam (pemimpin) itu pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya" (H.R Bukhari).
Oleh karena itu, kita harus berjuang untuk menegakkan penerapan sistem pemerintahan Khilafah, yang akan menerapkan syariat Islam di atas muka bumi ini secara kafah. Karena sistem Negara Khilafah memiliki mekanisme untuk menjaga kesejahteraan masyarakat tanpa harus bergantung pada pajak yang berat. Dalam sistem ini, negara mengelola kekayaan dan pendapatan sesuai hukum syariat Islam, termasuk optimalisasi Baitul Maal (perbendaharaan negara) untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan rakyat. Dan seorang Khalifah pun sangat bertanggung jawab dan amanah dalam menjalankan kebijakan hukum dan kesejahteraan rakyat menjadi prioritasnya. 

Wallahu A’lam Bishawab


Share this article via

80 Shares

0 Comment