| 230 Views

Dilema Generasi Muda: Antara Pernikahan Dini dan Liberalisme Seksual

Oleh : Nani, S.PdI
Relawan Opini Andoolo Sulawesi Tenggara

Di Indonesia, fenomena pernikahan dini menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan. Sejumlah penelitian mengatakan bahwa menikah pada usia dini tidak disarankan karena berisiko menimbulkan berbagai masalah, salah satunya stunting. Idealnya, perempuan disarankan menikah di atas umur 21 tahun karena tubuh dan psikologinya dinilai lebih siap, sehingga pemerintah selalu melakukan pencegahan pernikahan dini dan terus mendorong masyarakat agar kasusnya terus mengalami penurunan. Pertanyaan kemudian muncul, apakah benar dengan tidak menikah dini, semua yang dihembuskan tidak akan terjadi dimasyarakat?

Sebagaimana yang dilansir kemenag.go.id Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, menegaskan pentingnya kualitas remaja dalam mencapai bonus demografi. Pendidikan dan kesehatan harus diprioritaskan untuk mencapai generasi yang berkualitas. “Kita bisa mencapai bonus demografi jika kita benar-benar memperhatikan pendidikan yang berkualitas dan kesehatan yang terjamin bagi remaja kita,” kata Woro dalam Seminar Nasional Cegah Kawin Anak di Semarang, Kamis (19/9/24).

Senada dengan yang disampaikan oleh kemenkopmk.go.id Perkawinan anak telah merampas hak-hak anak saat usianya masih sangat belia. Seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, perlindungan, bermain, dan hak anak lainnya. Di mana data pernikahan anak dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS menunjukkan bahwa jumlah pernikahan anak di Indonesia jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 1,2 juta. Dari jumlah tersebut, 11,21% di antaranya adalah perempuan berusia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun.

Oleh karena itu, menurut Imron Rosadi selaku Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Kemenko PMK menyampaikan bahwa upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah perkawinan anak melalui sosialisasi dan edukasi kepada orang tua khususnya di daerah yang tingkat perkawinan anaknya yang cukup tinggi. Kamis (3/8/2023).

Hal ini terutama karena pernikahan anak telah dikutuk sebagai sesuatu yang identik dengan hal-hal negatif, termasuk putus sekolah, tingkat perceraian yang tinggi, kematian ibu dan bayi, stunting, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Bahkan dianggap perlu mengangkat remaja sebagai agen untuk mencegah perkawinan anak. Namun jika dilihat secara detail kesimpulan ini sangat serampangan dan membahayakan. Perlu ada data yang obyektif dan bisa dipertanggungjawabkan. Jika tidak, itu akan tetap menjadi tuduhan yang menyesatkan.

Ini sungguh ironis, karena di satu sisi remaja dihadapkan pada epidemi pornografi dan kebijakan yang pro terhadap seks bebas, dan di sisi lain remaja dihadapkan dengan aturan yang melarang menikah dini. Menikah dini dihalangi, gaul bebas difasilitasi inikan aneh dan bertolak belakang antara satu aturan dengan aturan yang lain.

Seharusnya pemerintah lebih fokus pada kebijakan-kebijakan yang mencegah anak terjerumus pergaulan bebas, bukan menyibukkan diri mencegah perkawinan anak (yang sebenarnya kategori mereka bukan anak-anak menurut syariat sehingga sebenarnya perkawinan mereka sah menurut syara’).

Pencegahan perkawinan anak sejatinya adalah amanat yang merupakan program Barat yang harus diwujudkan di negeri-negeri muslim. Tentu saja program tersebut berpijak pada paradigma Barat, yang nyata-nyata bertentangan dengan syariat Islam. Di antara target yang ingin dicapai adalah penghapusan stunting dan pencegahan pernikahan anak, yang telah diidentifikasi sebagai proyek nasional dalam RPJMN untuk tahun 2020-2024.

Targetnya adalah menurunkan angka perkawinan anak dari 11,2% di tahun 2018 menjadi 8,74% di tahun 2024, yang akan berdampak pada penurunan angka kelahiran keluarga muslim, serta pemecahan keluarga muslim.

Islam memiliki aturan terperinci terkait dengan pernikahan. Negara Islam akan menerapkan hal-hal yang sesuai dengan syariat Allah. Dalam negara yang menerapkan Islam secara kaffah, berbagai hal yang menjadi problem hari ini yang muncul karena penerapan sistem sekuler kapitalisme dapat terselesaikan. Termasuk terjaganya pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang akan mencegah pergaulan bebas dan segala dampaknya. Hal ini karena sistem ekonomi Islam menjamin terwujudnya kesejahteraan. Pun sistem media akan makin mneguatkan kepribadian Islam.

Dengan demikian, Islam menawarkan solusi yang holistik terhadap masalah pernikahan dini dan pergaulan bebas. Dalam Islam, pernikahan bukan sekadar kontrak sosial, tetapi merupakan ibadah yang mulia. Syariat Islam telah mengatur secara detail tata cara pernikahan, hak dan kewajiban suami istri, serta hubungan dalam keluarga. Dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah, diharapkan dapat tercipta generasi muda yang berakhlak mulia, berkeluarga sakinah, mawaddah, warrahmah, serta mampu berkontribusi positif bagi masyarakat dan negara.

Wallahu”alam bissawab.


Share this article via

101 Shares

0 Comment