| 81 Views
Demokrasi Tidak Bisa Berantas Korupsi

Oleh : Diah Setyarini
Aktivis Muslimah
Dalam forum dunia World Government Summit 2025 di Dubai Uni Emirat Arab, Presiden RI Prabowo Subianto mengakui bahwa tingkat korupsi di negaranya sudah sangat mengkhawatirkan dan menjadi satu dasar bagi penurunan kinerja dan kemunduran di semua sektor.
Melalui tayangan video dari akun YouTube World Government Summit, presiden Prabowo yang berhalangan hadir menyatakan bahwa kepala negara berkomitmen untuk memberantas korupsi sampai ke akar akarnya. Menurutnya, butuh keberanian besar agar bisa mewujudkan pemerintahan yang bersih dan mengakui bahwa korupsi adalah kelemahan dan kekurangan negara ini.
Setelah 100 hari berlalu Prabowo menilai bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinannya mencapai 81 persen, dan meyakinkan masyarakat bahwa dalam pemerintahannya tidak boleh seorang pun kebal terhadap hukum.
Prabowo pun mengungkapkan bahwa segala bentuk korupsi, seperti penyalahgunaan dana pemerintah, penggelapan, pajak rendah yang hanya berpihak pada pengusaha, telah dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Kompas, 12/02/2025.
Dalam debat pilpres 2024 tahun lalu, salah satu visi dan misi Prabowo adalah memberantas korupsi sampai ke akar akarnya. Namun faktanya, ketika sumpah jabatan presiden di raihnya dia mengungkapkan bahwa dia akan memaafkan koruptor asal uangnya di kembalikan kepada negara dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
Lepas dari itu semua, korupsi memang merupakan kejahatan serius yang harus menjadi perhatian kita semua. Korupsi bisa membahayakan kehidupan masyarakat banyak, mengganggu keberlangsungan pembangunan, termasuk menyebabkan terhambatnya layanan publik.
Bahkan, pada taraf tertentu, banyaknya kasus-kasus korupsi bisa memicu instabilitas politik dan ekonomi sebuah negara akibat menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Salah satu penyebab sulitnya pemberantasan korupsi di negri ini adalah, karena sistem demokrasi sekuler, di mana sistem ini berhasil memisahkan urusan agama dengan kehidupan. Akibatnya apa yang di hasilkan hari ini adalah pejabat yang korup, pejabat yang menghalalkan segala cara untuk tujuan hidup dirinya dan golongannya.
Demokrasi dan korupsi itu bagaikan sebuah mata uang, keduanya memiliki dua sisi yang saling menopang. Ketika demokrasi ingin di didirikan, maka butuh dana yang sangat besar dan sangat mahal untuk mendapatkan kemenangan dari para voter. Seperti sudah menjadi kebiasaan bahwa dalam demokrasi money politik adalah hal yang lumrah di ajang pemilu.
Pesta demokrasi yang di gelar lima tahun sekali menjadi ajang bagi bagi uang untuk rakyat yang bisa jadi itu adalah uang hasil dari korupsi. Pesta rakyat yang di gelar saat ini di topang oleh para oligarki, dimana para penguasa hari ini harus tunduk pada pemilik modal untuk menggelar pesta demokrasi.
Miris bukan ? dana yang seharusnya di nikmati oleh masyarakat untuk berbagai macam program pembangunan supaya meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat, serta mendapatkan sembako dengan harga yang murah dan fasilitas kesehatan, pendidikan, sarana publik yang ramah, ternyata tidak di dapatkan oleh masyarakat.
Penguasa hari ini terlalu berambisi untuk meningkatkan infrastruktur dan pembangunan setengah hati yang akhirnya terbengkalai. Kepentingan rakyat dan kesejahteraan mereka terabaikan, karena dana yang masuk digunakan untuk proyek pembangunan tadi. Dan kalau ini dibiarkan maka para koruptor akan terus berbuat hal yang sama dan kondisi masyarakat tidak akan pernah mendapatkan kesejahteraan secara keseluruhan.
Dalam demokrasi, pemangku kekuasaan tidak mewakili rakyat mayoritas. Mereka justru berkolaborasi menjadi oligarki untuk mengeruk kekayaan negara demi kepentingan dan kesejahteraan kelompoknya agar bisa terus berkuasa.
Kesejahteraan rakyat menjadi janji-janji kosong saat kontestasi pemilu. Ketika berkuasa, mereka seolah amnesia dan berupaya memanfaatkan masa jabatan mereka untuk mengambil keuntungan atau mempertahankan kekuasaan yang ada.
Persoalan korupsi adalah masalah sistemis yang membutuhkan solusi sistemis pula. Di sinilah Islam mampu menjawabnya, akidah Islam sebagai landasan perbuatan kaum muslim. Tujuan hidup umat Islam bukanlah mengumpulkan materi/kekayaan, tetapi meraih rida Allah Taala. Dengan demikian, dorongan perilaku korup bisa diminimalkan.
Dalam sistem politik Islam sangat sederhana, tidak mahal. Kepemimpinan Islam bersifat tunggal, pengangkatan dan pencopotan pejabat negara menjadi kewenangan khalifah. Dengan demikian, tidak akan muncul persekongkolan mengembalikan dana modal dan keuntungan kepada para oligarki. Inilah yang dapat mencegah adanya praktik korupsi.
Jika ada praktik korupsi yang mungkin terjadi maka akan diberantas dengan sanksi Islam yang sebelumnya ada pencegahan terlebih dahulu. “Siapa yang kami pekerjakan atas satu pekerjaan dan kami tetapkan gajinya, apa yang diambil selain itu adalah ghulul.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah).
Harta ghulul telah jelas, yaitu harta yang diambil dari hasil korupsi. Harta yang diperoleh secara tidak legal karena faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan, dan sebagainya. Sekalipun mereka menamakannya sebagai hadiah, haram hukumnya diambil.
Kemudian penerapan aturan yang sesuai syariat oleh negara dan pemberian sanksi yang tegas. Aturan Allah tidak akan menimbulkan celah untuk terjadinya korupsi. Sistem sanksi dalam Islam pun sangat menjerakan.
Hukuman bagi para koruptor termasuk takzir, yaitu bentuk dan kadarnya ditentukan oleh Khalifah. Bisa berupa penjara hingga hukuman mati jika terbukti menyebabkan dharar bagi umat. Inilah yang akan menjerakan pelaku dan secara otomatis akan menghentikan tindak pidana korupsi.
Penerapan syariat Islam akan efektif dalam memberantas korupsi. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen semua pihak untuk segera mewujudkan sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan syariah Islam secara kafah.
Imam Al-Ghazali rahimahulLâh berkata,
فَفَسَادُ الرَّعَايَا بِفَسَادِ الْمُلُوْكِ وَفَسَادُ الْمُلُوْكِ بِفَسَادِ الْعُلَمَاءِ وَفَسَادُ الْعُلَمَاءِ باِسْتِيْلاَءِ حُبِّ الْمَالِ وَالْجَاهِ
“Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa. Kerusakan penguasa adalah akibat kerusakan ulama. Kerusakan ulama adalah akibat mereka dikuasai oleh cinta harta dan jabatan.” (Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm ad-Dîn, 2/357).
Wallahua'lam