| 95 Views

Deforestasi Masif, Bencana Kian Aktif

Oleh : Diana Rahayu

Praktisi Lingkungan

 

Deforestasi kian maasif di bumi pertiwi. Ratusan juta hektar hutan yang Allah bentangkan di negeri ini, kini makin menyusut. Pasalnya alih fungsi hutan terus terjadi. Tak peduli bencana alam makin tak terkendali hingga hidup rakyat menjadi kian sulit. 

Ledakan Bencana Akibat Deforestasi

Beragamnya bencana alam di Indonesia sepanjang periode 1 Januari—3 Oktober 2023 patut menjadikan perhatian serius semua kalangan. Dari 3.056 peristiwa bencana alam yang terjadi, mayoritas berupa banjir, yaitu 893 kejadian. Selain banjir, dari data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), disebutkan bencana cuaca ekstrem (861), karhutla (687), tanah longsor (449), kekeringan (116), gelombang pasang/abrasi (24), gempa bumi (24), serta erupsi gunung api (2).

Dampak hebatnya semua bencana itu membuat 5,35 juta orang menderita dan mengungsi, 5.555 orang luka-luka, 204 orang meninggal dunia, dan 10 orang hilang. Belum lagi kerugian perumahan dan sarana sejumlah 25.116 rumah rusak dan puluhan fasilitas umum.

Jika kita lihat, banyaknya bencana hidrometeorologi yang jauh hari sudah diperingatkan oleh Walhi adalah akibat hilangnya fungsi ekologi hutan karena deforestasi. Banyak hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan dan area konsesi tambang secara ugal-ugalan. 33 juta hektare hutan Indonesia sudah dibebani izin di sektor kehutanan. 

Sekitar 4,5 juta hektare wilayah izin usaha pertambangan berada di wilayah tutupan hutan dan 3,3 juta hektare sawit dalam kawasan hutan. Belum lagi termasuk proyek-proyek lumbung pangan (food estate) di kawasan hutan. Hngga Juni 2022, sekitar 8,5 juta hektare hutan tropis Indonesia telah dilepaskan, 71 persennya atau 6 juta hektare untuk perkebunan monokultur sawit. www.walhi.or.id

Dari laporan Global Forest Review dari World Resources Institute (WRI), Indonesia merupakan negara yang paling banyak kehilangan hutan primer tropis (humid tropical primary forest) dalam dua dekade terakhir. Sebanyak 10,2 juta hektare hutan hilang, mencakup area hutan primer tropis yang mengalami deforestasi serta degradasi (penurunan fungsi/kerusakan ekosistem hutan).  databoks.katadata.co.id

Paradigma Komodifikasi Di Sistem Kapitalis

Sistem kapitalis meniscayakan adanya kesenjangan antara kelestarian lingkungan dan pembangunan. Dalam kapitalisme keuntungan sebagai sesuatu yang sangat dominan akan menjadi tujuan. Terbukti paradigma pemimpin negeri ini tetap pada jalur komodifikasi hutan. Yaitu komoditi berupa hutan akan dimodifikasi fungsi atau bentuknya supaya memiliki nilai ekonomi lebih besar meski merusak ekologi.

Penguasa dalam sistem kapitalisme demokrasi hanya berposisi sebagai regulator. Sangat rentan dipengaruhi kepentingan yang lebih kuat, yakni kalangan pemodal. Realita adanya proses pemilihan yang mahal, membuka  jalan bagi para pemodal sebagai penyandang dana pemilu dengan imbalan kemudahan bisnis mereka jika calon yang didukung menang. Walhasil semua potensi komoditas SDA negara termasuk hutan akan bisa diubah fungsi demi memuluskan proyek bisnis para pemodal.

Walhasil, di ruang demokrasi komodifikasi hutan akan sejalan seriring dengan praktik politik transaksional. Jamak diketahui transaksi antara pemodal dan penguasa bukanlah sebuah bentuk sedekah. Harus ada keuntungan yang didapat pemodal dalam transaksi politik ini. Maka timpangnya pejagaan ekologi lingkungan dengan dalih pembangunan merupakan yang hal yang empiris.

Penjagaan Islam Pada Komoditas Hutan

Islam memadang hutan sebagai milik umum. Negara lah yang mempunyai kewajiban mengelola dan menjaga kelestariannya sehingga membawa manfaat untuk umat.  Dalam Islam, penguasa sebagai wakil rakyat akan menjalankan tugas dan fungsi sebagai pengelola SDA termasuk hutan.  Pengelolaan SDA ini dijalankan sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunah, dan menyadari akan adanya pertanggungjawaban atas amanahnya ini.

Dalam  QS Al-A’raf ayat 56 yang secara gamblang disampaikan tuntutan penjagaan ekologi, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka Bumi yang diciptakan dengan baik…” Maka penjagaan terhadap keberadaan hutan sebagai penyangga kehidupan manusia dan semua makluk di bumi harus dijalankan dengan benar, baik dari fungsi ekologi, fungsi sosial maupun fungsi ekonomi.

Pertama, fungsi ekologi. Hutan sebagai paru-paru dunia, kawasan penyangga maupun habitat semua hewan dan tumbuhan haruslah tetap lestari. Hutan di kawasan penyangga tidak bisa dialih fungsi sebagai hutan produksi.. Terjaganya fungsi ekologi ini akan melindungi rakyat dari bencana hidrometeorologi, berupa banjir, longsor, pemanasan maupun pendidihan global dll.

Kedua, fungsi sosial. Hutan haruslah difahami sebagai ruang hidup manusia bersama makhluk Allah yang lainnya. Dimana manusia boleh memanfaatkan hutan untuk menyokong kehidupan dan penghidupannya. Namun, eksploitasi hutan oleh perorangan, kelompok atau swasta sangat dilarang karena hutan adalah milik umum. Kawasan hima untuk habitat satwa juga harus dilindungi sebagai ruang hidup satwa.

Ketiga, fungsi ekonomi. Hutan boleh dimanfaatkan selama untuk kemaslahatan rakyat dan hanya boleh dilakukan oleh negara. Hasil dari pemanfaatan hutan secara ekonomi haruslah kembali pada rakyat secara umum, baik berupa pembiayaan fasum maupun dalam bentuk lainnya  sebagai sebuah pemberian negara untuk kesejahteraan semua rakyat.

Penguasa Sebagai Pelindung Rakyat

“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Ia akan dijadikan perisai yang orang-orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika ia memerintahkan bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan adil, maka dengannya ia akan mendapatkan pahala. Akan tetapi, jika ia memerintahkan yang lain, ia juga yang akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dijelaskan oleh Imam Ibnu al-Atsir (w. 606 H), sifat junnah dalam hadis ini berkonotasi sebagai pelindung dari kezaliman dan penangkal dari keburukan. Fungsi imam sebagai pelindung tidak terbatas dalam peperangan semata, tapi dalam semua bentuk kepemimpinannya, termasuk dalam hal ini perlindungan adanya bencana hidrometeorologi akibat deferostasi.

Pemimpin yang menjadi pelindung rakyat bukan orang yang pengecut dan lemah, tapi pemimpin yang kuat, berani, dan terdepan. Kekuatan yang berasal dari keimanan akan menjadikannya sebagai sosok pemimpin yang tangguh. Tak akan terjebak dalam politik transaksional maupun terjerembab pada paradigma komodifikasi SDA.

Sebagai pelindung rakyat, pemimpin Islam wajib berpegang pada ketentuan syariat sebagaimana hadis Rasulullah saw., “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR Ibnu Majah). Maka siapapun ia yang telah Allah swt tetapkan amanah kepemimpinan pada pundaknya, tak boleh menetapkan kebijakan yang akan melahirkan bahaya bagi umat.
Wallahualam

Bws290124


Share this article via

64 Shares

0 Comment