| 23 Views

Dalam Islam, Tidak Ada Retreat Pejabat

Oleh : Aning Juningsih

Dikutip dari Tempo.co, pada Minggu, 27 Oktober 2024, Presiden Prabowo dan Gibran, bersama para menteri Kabinet Merah Putih, kembali ke Jakarta setelah menyelesaikan acara retreat (pembekalan) yang berlangsung di Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah, dari 25 hingga 27 Oktober 2024. Acara ini bertujuan untuk menyelaraskan visi dan misi para pejabat kabinet di bawah kepemimpinan Prabowo. Presiden menyatakan bahwa retreat diperlukan untuk memperkuat hubungan antarpejabat dan membangun kerja sama tim.

Meskipun mendapat pujian dari beberapa pihak, publik justru mengkritik acara ini karena dinilai menggunakan fasilitas mewah dan terkesan glamor, meskipun didanai secara pribadi oleh presiden. Setelah retreat berakhir, para menteri memberikan pandangan mereka tentang acara tersebut. Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, mengatakan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk membangun persatuan dan kekompakan kabinet. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartato, menambahkan bahwa retreat membantu membentuk solidaritas dan kerja tim yang solid.

Namun, publik meragukan hasil nyata dari acara tersebut. Banyak yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya akan berakhir dengan retorika tanpa tindakan konkret. Meski semangat kebersamaan diusung, hal ini tidak serta-merta menjamin keberhasilan pemerintahan, terutama karena kabinet ini didirikan di atas dasar koalisi besar yang dipenuhi kepentingan politik.

Jumlah kementerian dalam pemerintahan Prabowo-Gibran juga meningkat signifikan dibandingkan kabinet sebelumnya, dari 34 menjadi 48 kementerian, ditambah 5 kepala badan dan 56 wakil menteri. Hal ini memudahkan pembagian kekuasaan di antara para loyalis dan pendukung politik. Komposisi kabinet didominasi oleh politisi, dengan 55,6 persen dari total calon berasal dari kalangan politik. Profesional teknokrat hanya menyumbang 15,7 persen, sedangkan selebihnya berasal dari kalangan militer, pengusaha, akademisi, tokoh agama, dan selebritas.

Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan kurangnya integritas dan profesionalisme dalam kabinet. Akademisi Hediansyah Hamzah dari Universitas Mulawarman menilai bahwa impian membentuk kabinet teknokrat hanya angan-angan belaka, karena mayoritas menteri berasal dari partai politik. Bahkan, beberapa menteri tidak memiliki latar belakang yang relevan dengan posisi yang mereka pegang, seperti AHY yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, meski latar belakangnya militer.

Fenomena ini umum terjadi dalam sistem demokrasi. Dalam politik transaksional, dukungan politik biasanya diikuti dengan pembagian kekuasaan. Hal ini tampak jelas dalam hasil kesepakatan antara dua partai besar pemenang Pilpres 2024, di mana Partai Golkar mendapatkan delapan kursi menteri dan tiga kursi wakil menteri, sementara Partai Gerindra mendapatkan posisi Ketua MPR RI sebagai gantinya.

Namun, yang dibutuhkan rakyat saat ini bukan hanya kedisiplinan atau solidaritas antarpejabat. Rakyat membutuhkan perubahan mendasar yang mampu menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi bangsa, seperti kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, kesehatan, pendidikan, dan ketahanan pangan. Masyarakat menginginkan pemimpin yang benar-benar memperjuangkan kesejahteraan rakyat, bukan yang hanya melayani kepentingan kapitalis dan korporasi.

Sayangnya, dalam pemerintahan demokrasi, kritik terhadap pemerintah sering kali dianggap sebagai bentuk ketidakpatuhan atau kurangnya cinta tanah air. Pemerintah juga cenderung memprioritaskan kebijakan yang lebih menguntungkan pemilik modal daripada rakyat. Kenaikan tarif pajak, pengurangan subsidi, dan kenaikan harga pangan adalah beberapa contoh kebijakan yang memberatkan rakyat.

Selama sistem demokrasi kapitalis tetap diterapkan, kesejahteraan rakyat akan sulit tercapai. Sistem ini memberikan ruang bagi korupsi, karena biaya politik yang tinggi memaksa kontestan politik untuk mengembalikan modal mereka, sering kali melalui cara yang tidak jujur. Selain itu, dalam demokrasi, aturan bisa diubah sesuai kepentingan elit politik, seperti halnya Perppu Cipta Kerja yang memberi keuntungan besar kepada penguasa dan merugikan pekerja.

Sebaliknya, dalam Islam, pemimpin dipilih bukan untuk kekuasaan pribadi, melainkan untuk melayani rakyat berdasarkan syariat Islam. Pemimpin dalam sistem Islam dipilih berdasarkan integritas dan kapabilitasnya, dengan pola pikir dan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam. Para pejabat, yang disebut mu'awin, bertugas membantu kepala negara dalam menjalankan pemerintahan sesuai dengan syariat.

Dalam sistem Islam, kepala negara tidak hanya bertugas menjalankan pemerintahan, tetapi juga bertanggung jawab untuk melindungi dan melayani rakyat. Hukum yang diterapkan harus bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah, bukan dari aturan manusia yang terbatas dan dipengaruhi hawa nafsu. Pemimpin dalam Islam juga berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat yang tidak amanah dalam menjalankan tugasnya.

Sistem pemerintahan Islam yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan diteruskan oleh para pemimpin setelahnya terbukti efektif dalam mengayomi rakyat. Sistem ini memastikan setiap warga negara, baik muslim maupun non-muslim, mendapatkan pelayanan yang adil dan setara. Semua aturan Islam diintegrasikan ke dalam satu sistem yang saling mendukung, menciptakan masyarakat yang harmonis dan sejahtera.

Berbeda dengan sistem demokrasi yang sering kali boros anggaran dan rentan terhadap korupsi, sistem pemerintahan Islam menawarkan struktur yang lebih efisien dan adil. Pemerintahan dalam Islam dirancang bukan untuk kepentingan penguasa, tetapi untuk kesejahteraan rakyat sesuai dengan syariat. Dengan demikian, hanya melalui penerapan sistem Islam, keadilan dan kesejahteraan rakyat dapat terwujud. Wallahu a'lam bishawab.


Share this article via

46 Shares

0 Comment