| 38 Views
Banjir Melumpuhkan Bekasi : Islam Punya Solusi

Oleh : Karnili
Aktivis Dakwah
Hujan deras yang mengguyur Bekasi selama 2 hari berturut-turut beberapa waktu lalu, menyebabkan ketinggian air mencapai 3 meter hingga membuat ratusan rumah terendam banjir. Tercatat ada 8 wilayah kecamatan di kota Bekasi yang terdampak, yaitu kecamatan Cibarusah, Cikarang Selatan, Serang Baru, Setu, Cikarang Utara, Cibitung, Tambun Utara, dan Bekasi Barat, dengan terdampak terparah di Perumahan Pondok Gede Permai yang ketinggian airnya mencapai 8 meter.
Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), bahwa penyebab terjadinya banjir adalah melimpahnya air dari tanggul yang telah dibangun oleh Balai Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BWSCC). Selain itu, meluapnya air dari kali Cikeas dan kali Bekasi juga memperburuk kondisi.
Menurut warga, banjir yang dialami beberapa wilayah Bekasi kali ini lebih parah dibanding banjir di tahun 2020 lalu. Yang mana banjir hanya mencapai 100-150 sentimeter dan air tidak sampai masuk kedalam rumah.
Melihat kondisi ekologi dan tata kelola yang ada di wilayah Bekasi dan sekitarnya, maka bisa disimpulkan bahwa banjir tidak terjadi secara alamiah, tetapi lebih kepada kerusakan lingkungan akibat salah dalam sistem tata kelola kota. Penanganan dan tata kelola yang buruk dapat menjadi faktor penyebab banjir di Bekasi yang meliputi, pengelolaan drainase yang tidak efektif, pengelolaan sampah yang tidak baik sehingga menyumbat saluran drainase, pengelolaan tanah yang tidak berkelanjutan yang menyebabkan erosi tanah, tata kelola perencanaan wilayah yang buruk hingga pembangunan tidak terkendali, pengawasan dan pengendalian yang lemah berakibat pelanggaran peraturan dan standar, serta kurangnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam mengelola lingkungan.
Semua terjadi berawal dari sistem pemerintahan yang dianut oleh negeri ini, yakni sistem kapitalisme. Pembangunan yang tidak merata dalam sistem kapitalisme mengakibatkan adanya arus urbanisasi yang tinggi sehingga menyebabkan alih fungsi lahan hijau menjadi beton seperti perumahan, jalan, dan gedung. Hal ini mengakibatkan daerah resapan air menjadi minim.
Berbeda dengan sistem politik Islam, di mana peguasa adalah sebagai pengurus urusan umat. Sedangkan penguasa pada sistem kapitalisme saat ini, justru melepaskan tanggung jawab itu sehingga ada kecenderungan ekploitasi dalam tata kelola kota. Prioritas pemerintah hanya pada keuntungan pribadi bukan kesejahteraan rakyat, hingga berakibat pengabaian infrastruktur dan kebijakan yang diperlukan untuk mengurangi risiko banjir. Para penguasa membiarkan para pemilik modal dengan berbagai regulasi yang ada untuk mengekploitasi wilayah hulu dengan membangun tempat wisata, perumahan, dan vila. Begitupun di wilayah hilir banyak kita jumpai kawasan resapan air yang hilang akibat pembangunan yang beresiko.
Melihat kondisi masyarakat yang hampir setiap tahun mengalami banjir, maka sudah seharusnya penguasa merancang tata kelola kota dengan baik dan berkelanjutan. Dalam kitab Nidzomul Iqtishadi fil Islam, oleh Syaikh Taqiyuddin an Nabhani, menjelaskan tentang pengelolaan sumber daya alam dan infrastruktur oleh negara untuk kepentingan rakyat. Tanah, air, dan sumber daya alam adalah amanah yang tidak boleh dikelola oleh swasta atau dimiliki oleh individu karena akan merusak keseimbangan ekosistem. Dan dengan regulasi yang ketat tentu akan menjaga ekosistem baik di willayah hulu maupun hilir.
Dalam Islam, sudah menjadi kewajiban negara untuk mengontrol pembangunan agar merata sehingga arus urbanisasi dapat diminimalisir. Adapun pengelolaan sungai, sistem drainase yang terintegrasi, dan kebutuhan tanggul atau waduk, wajib di awasi dan di perhatikan pembangunannya dengan kualifikasi terbaik dan didukung oleh sistem keuangan dari Baitul Mall (Kas Negara).
Bencana banjir tentu bisa diatasi apabila pembangunan selaras dengan prinsip kepemimpinan Islam. Di mana negara akan berusaha semaksimal mungkin dalam menangani permasalahan banjir, mulai dari memetakan daerah-daerah dataran rendah yang rawan genangan air untuk dibangun kanal-kanal resapan air hingga mengeluarkan syarat-syarat yang ketat tentang izin pembangunan. Namun bukan berarti menyulitkan rakyat yang hendak membangun, justru negara akan menyederhanakan birokrasi dan menggratiskan surat izin pendirian bangunan bagi siapa saja yang hendak membangun. Hanya saja untuk pembangunan di lahan pribadi atau umum yang dapat menghantarkan bahaya, maka penguasa diberi hak untuk tidak memberikan izin pendirian bangunan. Hal ini merupakan implementasi dari Ushul Fiqih, bahwa bahaya harus dihilangkan.
Di tambah negara akan memberikan sanksi bagi siapa saja yang melanggar syarat-syarat yang telah ditetapkan tanpa pandang bulu. Begitupun sanksi yang berat akan diberlakukan bagi siapa saja yang merusak lingkungan hidup.
Di samping itu, negara akan mengerahkan para 'Alim ulama untuk memberikan tausiyah penguatan keimanan kepada rakyat yang dilanda banjir agar tetap sabar, tabah dan tawakal sepenuhnya kepada Allah.
Wallahu a'lam bi ash-shawaab