| 141 Views

Bagi-bagi Jabatan Yang Berlandaskan Politik Balas Budi

Oleh : Sri Setyowati
Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam

Bagi-bagi jatah kursi komisaris di BUMN bagi pendukung Prabowo akhir-akhir ini menuai reaksi publik. Mantan Wakil Ketua Dewan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie diangkat menjadi Komisaris Mining Industry Indonesia (MIND ID). Selain Grace, Fuad Bawazier, seorang politikus Partai Gerindra, juga menduduki jabatan komisaris utama. Selain itu, ada pula anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Gerindra, Siti Nurizka Puteri Jaya diangkat sebagai Komisaris PT Pupuk Sriwijaya (Persero). Condro Kirono dan Simon Aloysius Mantiri yang merupakan Wakil Ketua dan Bedahara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran masing-masing ditunjuk sebagai Komisaris Independen dan Komisaris Utama PT Pertamina. Sementara Prabu Revolusi menduduki jabatan Komisaris Independen PT Kilang Pertamina Internasional.

Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko memberikan pandangan bahwa penunjukan sejumlah politisi pendukung presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai komisaris di perusahaan perusahaan pelat merah dianggap sebagai bentuk konflik kepentingan. Penempatan jabatan di sejumlah badan usaha milik negra (BUMN) yang tidak didasarkan pada profesionalisme dan kompetensi yang memadai diyakini akan mempengaruhi tata kelola perusahaan, merusak budaya profesionalitas, dan menimbulkan spekulasi bisnis yang negatif. Sebagai ujung tombak ekonomi, BUMN seharusnya memiliki langkah-langkah pencegahan korupsi yang kuat. Pencegahan ini tidak hanya mencakup upaya menghindari korupsi dan melaporkan gratifikasi, tetapi juga penting untuk mengatur konflik kepentingan. Selain itu, praktik bagi-bagi jabatan tersebut dapat merugikan keberlangsungan BUMN sebagai perusahaan. PSO (public service obligation) atau kewajiban pelayanan publik BUMN tidak berjalan, karena adanya penunjukan langsung. Pemilihan bukan karena kompetensi atau keahlian seseorang tetapi karena sedang ada proyek tertentu. Dan ini pastinya tidak sehat.

Survei yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) pada Maret 2021 menunjukan sebanyak 14,73 persen jabatan komisaris BUMN diisi oleh tokoh berlatar belakang relawan calon presiden hingga anggota partai. Angka ini setara dengan 71 dari 482 komisaris saat itu. Selain itu, terdapat 51,66 persen kursi komisaris yang diduduki pejabat birokrasi sebagai perwakilan pemerintah selaku pemegang saham BUMN. Sedangkan dari kalangan profesional hanya sekitar 17,63 persen. Sisanya berasal dari aparat penegak hukum, personel militer dan mantan menteri. (voaindonesia.com 16/06/2024)

Arya Sinulingga, staf khusus Menteri BUMN Erick Thohir untuk bidang komunikasi publik menyampaikan bahwa mereka yang ditunjuk jadi komisaris BUMN adalah orang-orang kompeten yang telah menjalani uji kelayakan dan kepatutan. Mereka pun diangkat sesuai kebutuhan BUMN terkait. Di sisi lain, Arya mengatakan wajar saja sebagian komisaris yang ditunjuk adalah politikus karena setiap keputusan besar yang diambil BUMN pada kenyataannya membutuhkan dukungan politik, entah yang terkait merger, penawaran saham perdana, ataupun penyertaan modal negara. Dan karena BUMN itu perusahaannya milik pemerintah, maka wajar kalau misalnya dicari dari berbagai latar belakang, dan latar belakang politik tidak menjadi larangan. BUMN juga butuh dukungan politik, berbeda dengan perusahaan swasta sehingga kebijakan atau keputusan-keputusan besar di BUMN itu harus disetujui DPR. (bbc.com, 14/06/2024)

Praktek bagi-bagi jabatan sebagai balas budi terhadap partai politik atau aktor di parpol yang memberi dukungan kemenangan adalah hal biasa dalam sistem demokrasi karena politik dalam demokrasi berasaskan manfaat dan kepentingan yang berujung pada tujuan meraih keuntungan. Akibatnya tidak perlu standar termasuk dalam hal kemampuan atau kapabilitas. Terjadilah penyalahgunaan kekuasaan karena perusahaan milik negara serasa menjadi milik pribadi penguasa yang siap dibagikan kepada pendukung-pendukungnya. Peruntukan BUMN pun seolah dikhususkan untuk menopang kepentingan penguasa. Siapapun yang berjasa dalam memenangkan paslon pemenang dapat mendudukinya meskipun kurang kompeten dan belum layak.

Jabatan komisaris BUMN memang menggiurkan karena menawarkan gaji dan bonus tinggi, sehingga kerap diincar banyak orang dan dijadikan penguasa sebagai alat memperkuat dukungan kepada pemimpin terpilih. Dan karena jabatan komisaris dipegang orang-orang yang tak punya kapasitas, fungsi pengawasan tak berjalan dengan baik dan kinerja BUMN kerap tak optimal sehingga merugikan negara, seperti  PT Garuda Indonesia, yang rutin merugi dari tahun ke tahun tapi juga disuntik dana terus karena itu milik negara.

 Akan selalu ada sikap pragmatis dan oportunis yang dilakukan parpol atau individu. Karena itu pemimpin amanah mustahil dilahirkan dari sistem politik sekuler demokrasi. Sebab keimanan dan ketakwaan tidak dijadikan landasan utama dalam menjalankan amanah.

Kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah. Rasulullah saw. bersabda, "Kekuasaan adalah amanah. Ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya)." (HR Muslim).

Penyalahgunaan kekuasaan dengan alasan apapun tidak dibenarkan dan tidak boleh dilakukan. Tidak boleh ada kepentingan pihak manapun yang mengikat mereka dalam menjalankan kekuasaan. Karena itu  pelaksanaan wewenangnya kekuasaan harus merujuk pada syariat untuk kemaslahatan rakyat.

Wallahu a'lam bi ash-shawab


Share this article via

67 Shares

0 Comment