| 111 Views
Aroma Kapitalistik Dibalik Proyek Sawah Padi Cina

Oleh : Lestia Ningsih S.Pd
Gonjang-ganjing harga beras membuat lara hati rakyat yang sampai sekarang masih terbilang harga beras cukup tinggi. Para petani juga ambruk dimana hasil panen tidak sebanding dengan modal penanaman. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat Indonesia negara tersubur didunia dengan lahan yang luas dan cukup untuk menanam padi namun sayang negeri ini tidak mampu menjadi swasembada pangan.
Belum rampung kasus pangan, pemerintah malah asyik bangun kerjasama dengan luar negeri yaitu Cina untuk mengelola satu juta hektar tanah yang akan ditanam padi tentu mendapatkan banyak kritikan.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengkritik wacana penggunaan lahan sebanyak 1 juta hektare di Kalimantan Tengah untuk penerapan adaptasi sawah padi dari Cina.
"Tidak masuk akal dan pasti gagal. Gitu aja lah kalau bicara 1 juta hektar pasti gagal. Terlalu luas terus nanti yang garap siapa," kata Andreas dihubungi Tempo pada Selasa, 23 April 2024 melalui saluran telepon. (Tempo.co, 23/4/2024)
Bahkan banyak kritikan bahwa upaya ini akan menemui kegagalan diakibatkan banyak faktor yang bisa dari benih yang belum tentu cocok dengan iklim Indonesia, padi belum tentu tumbuh dengan baik karena hama dan kondisi tanah yang berbeda dan lain sebagainya. Kerangka dari kerjasama ini masih sangat rancu sebab pengelolaan sawah seluas satu juta hektar ini siapakah yang akan diuntungkan?
Aroma kapitalistik dari sistem yang diadopsi negeri ini sangatlah kentara. Negara memberlakukan Bisnis to Bisnis. Mengapa bisa dikatakan demikian? Sebab jika dilihat dari negeri ini baik dari Sabang sampai Merauke lahan atas pertanian sangat luas dan cukup untuk para petani menghasilkan padi yang banyak. Namun sayang, alih-alih memperbaiki sistem negara malah berjabat tangan dengan Cina untuk mengambil alih peran petani Indonesia dan diserahkan ke cina.
Seharusnya negara memperhatikan para petani dengan melakukan uji laboratorium untuk menemukan pupuk dan bibit unggul lalu membagikannya secara gratis, menyediakan lahan gratis pagi para petani, dan mengepul padi dari para petani dan memberikan harga yang pas dan layak.
Hal ini sangat mustahil terjadi di negeri yang mengadopsi sistem kapitalisme ini. Negara hadir hanya sebagai pebisnis bukan peri'ayah umatnya. Solusi yang diberikan hanya mensejahterakan segelintir orang saja dan tidak untuk seluruh rakyat. Lagipula sudah rahasia umum bahwa negeri ini adalah pembebek pada tuannya yaitu para kapital alias para pemilik modal tentu wajar saja setiap kebijakan hanya untuk keuntungan para elit kapital dan tidak perduli pada urusan rakyat.
Jauh berabad-abad silam sistem Islam telah berhasil menciptakan swasembada pangan yang lebih stabil. Hal ini tentu bersyarat sebab negara wajib mengelola dan mengatur urusan umat hanya dengan syariat Islam saja.
Dalam syariat Islam dalam pengelolaan lahan pertanian hingga distribusi pangan sangat jelas. Negara akan memberikan secara gratis lahan-lahan strategis untuk menanam padi. Bahkan sistem Islam menyediakan laboratorium penelitian untuk menemukan bibit unggul dan pupuk organik yang bagus dan ini juga dibagikan kepada umat secara cuma-cuma. Negara juga hadir untuk selalu mengedukasi para petani untuk tata cara kelola dan perawatan, negara juga akan mengepul seluruh padi dari para petani dan memberikan upah yang pantas. Maka nampaklah bahwa negara hadir sebagai peri'ayah umatnya dengan mensejahterakan para petani.
Ditambah lagi negara akan terus memonitoring pendistribusian beras hingga ketangan konsumen dengan ketat, artinya tidak boleh ada monopoli para mafia dan cukong-cukong pasar untuk menekan harga, tidak ada penimbun beras dan lain sebagainya. Namun, jika terdapat pelanggaran maka negara akan memberikan sanksi tegas sesuai dengan hukum tajir yang diberlakukan.
Seharusnya negara ini menerapkan sistem Islam secara kaffah sebab sistem Islam yang datangnya dari Allah SWT sangat tegas dan tuntas dalam memecahkan problematika manusia. Bukan malah mengadopsi sistem rusak sekuler-kapitalisme yang menjadikan. Tolak ukur perbuatannya hanya manfaat bukan demi kemaslahatan umat. Wallahu 'alam bishowab