| 88 Views

Apakah Harus Berharap pada Kabinet Zaken Prabowo?

Oleh : Ainul Mizan
Peneliti LANSKAP

Menjelang pelantikan tanggal 20 Oktober 2024, Presiden terpilih Prabowo Subianto berencana akan membentuk Kabinet Zaken. Rencananya orang-orang yang akan ditempatkan sebagai menteri berasal dari kalangan ahli atau profesional. Harapannya dibentuknya Kabinet Zaken ini akan bisa memperbaiki kinerja pemerintahan menuju terwujudnya Indonesia Emas 2045.

Isu Kabinet Zaken bukanlah hal yang baru. Kabinet Natsir tahun 1960 merupakan Kabinet Zaken. Ada 2 orang ahli ekonomi yang menduduki posisi menteri, yaitu Syafruddin Prawiranegara dan Soemitro Joyohadikusumo.

Hanya saja Kabinet Natsir cuman bertahan selama setahun. Masyumi sebagai partai terbesar waktu itu lebih memilih koalisi partai kecil untuk ditempatkan dalam kabinet. Sementara PNI tidak, meskipun termasuk dari partai besar berikutnya. Karena merupakan koalisi partai maka ketua partai memiliki otoritas penuh terhadap anggotanya yang berposisi sebagai menteri. Para ketua partai lantas menarik anggota-anggotanya tersebut, yang juga memberi andil bubarnya Kabinet Natsir.

Sementara Prabowo-Gibran sendiri diusung oleh KIM-Plus (Koalisi Indonesia Maju). Artinya kabinet yang akan dibentuknya bisa dipastikan adalah kabinet yang gemuk. Beredar kabar bila kabinet Prabowo-Gibran akan berisi 44 menteri, yang sebelumnya dikabarkan hanya 34 menteri. Padahal dalam aturan perundangan kabinet harusnya diisi oleh 24 menteri. Dengan demikian diperlukan payung hukum untuk legalitas penggemukan hingga 44 menteri. Belum lagi semakin gemuk sebuah kabinet, tentunya akan menyedot anggaran keuangan negara yang makin besar. Sedangkan imbas gemuknya kabinet bagi kesejahteraan rakyat hanya sebatas retorika. Gemuknya kabinet tidak linear dengan kesejahteraan rakyat, tapi linear dengan makin habisnya keuangan negara.

Kita bisa berkaca pada Kabinet Kerja Jokowi. Kalau disebut Kabinet Kerja merupakan Kabinet Zaken, bisa jadi. Tapi apakah berimbas untuk peningkatan kesejahteraan rakyat?  Jauh sekali. Yang ada kabinet kerja makin gemuk dengan adanya wamen dan staf khusus kementerian. Yang pasti banyak menyedot keuangan negara. Kasus korupsi justru makin menggurita. Utang negara makin menumpuk.

Pertanyaannya kemudian, apakah Prabowo akan membentuk Kabinet Zaken yang murni? Jawabannya tentu tidak. Partai politik yang tergabung dalam Kim-Plus akan meminta jatah kursi menteri. Satu sisi, jika betul-betul Kabinet Zaken maka akan timbul gesekan dalam tubuh partai sendiri. Kebetulan yang disodorkan ketua partai bukanlah seorang ahli akan tetapi anggota senior dan berpengalaman. Yang dipilih Presiden adalah anggota partai yang ahli. Maka tentu keputusan ketua parpol yang akan menentukan. Bukankah tim sukses dan pengusung Presiden dan Wapres terpilih adalah dari partai politik? Oleh karena itu, wacana membentuk Kabinet Zaken merupakan gimmick politik. Dengan kata lain, pembentukan Kabinet Zaken hanyalah basa-basi.

Demikianlah potret penyelenggaraan pemerintahan di dalam sistem Demokrasi. Para pejabat diangkat bukan untuk menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama kerjanya. Kepentingan balas budi yang mendasari. Dalam istilah lain, "anda kami dukung, maka kami minta jatah kursi". Lantas, apakah rakyat bisa berharap akan terwujud kesejahteraan dari model penyelenggaraan pemerintahan sedemikian? Terwujudnya kesejahteraan dalam sistem Demokrasi menjadi jauh panggang dari api. Artinya sistem Demokrasi tidak akan pernah dapat mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.

Penyelenggaraan Pemerintahan Islam-lah yang Menyejahterakan

Kepemimpinan dan kepengurusan urusan rakyat adalah amanah. Sedangkan amanah itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta'ala. Oleh karena pengangkatan pemimpin dan pejabat termasuk menteri adalah dalam rangka mengemban amanah sebaik-baiknya. Inilah Islam dalam menempatkan posisi seorang pemimpin dan pejabat.

Rasulullah Saw menyatakan bahwa pemimpin adalah penanggung jawab terhadap rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Bahkan kepemimpinan itu adalah kehinaan dan penyesalan di hari kiamat bagi mereka yang menyia-nyiakan amanah kepemimpinan dan pengurusan rakyat.

Oleh karena itu pemimpin dan pejabat harus berlepas diri dari afiliasi ke organisasi, madhab, maupun parpol tertentu. Tatkala menjadi pejabat, mereka itu milik negara, milik rakyat. Mereka harus mengabdi untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan ketua partai politik.

Untuk selanjutnya sebutan menteri kami ganti dengan istilah Kepala Departemen. Posisi menteri itu khas sistem Demokrasi. Dalam sistem Demokrasi, disebut pemerintah adalah presiden dan kabinetnya.

Kepala Departemen dalam Islam berposisi sebagai pegawai negara. Ia digaji. Sedangkan bila penguasa atau pemerintah tidak mendapat gaji karena bukan pegawai. Pemerintah atau penguasa Islam hanya mendapat santunan dari negara.

Kepala Departemen diangkat memang berdasarkan kecakapannya di bidang tertentu. Kepala Baitul Maal memang diangkat dari kalangan yang mengerti tentang seluk beluk penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara. Termasuk pengangkatan petugas zakat adalah orang yang ahli di dalam mengelola keuangan dan penaksiran besaran zakat pertanian. Ini satu contoh.

Tentunya orang-orang yang diangkat sebagai pegawai negara di dalam departemen adalah orang yang kompeten di bidangnya. Artinya ada ujian kompetensi yang harus dilalui untuk menjadi pegawai negara. Di samping itu, orang-orang tersebut memiliki kepribadian Islam yang baik. Mereka bukanlah orang yang dholim dan fasik. Meskipun mereka adalah orang yang berkompeten, akan tetapi bila cacat kepribadiannya, maka akan dicopot dari jabatannya.

Selanjutnya di dalam penyelenggaraan pelayanan kepada rakyat, Islam menggariskan aturan administrasi yang sederhana, cepat dan profesional. Bukankah Rasulullah Saw menggariskan dalam sabdanya:
بشروا ولا تنفروا
يسروا ولا تعسروا
Gembirakanlah orang jangan ditakut-takuti, Mudahkanlah urusan orang janganlah dibuat sulit.

Tentunya model pelayanan kepada kemaslahatan dalam Islam berbeda dengan sistem Demokrasi. Dalam sistem Demokrasi berlaku pameo, "Bila bisa dibuat susah, mengapa dipermudah". Maka janganlah heran bila banyak kemaslahatan rakyat yang terbengkalai.

Adapun tentang penggajian para pegawai negara. Tentunya jumlah pegawai negara yang diangkat akan disesuaikan dengan kebutuhan negara dalam memberikan pelayanan terbaik kepada rakyatnya. Apalagi di dalam Islam, sumber keuangan negara ditetapkan berasal dari harta milik negara, harta milik umum seperti SDA, harta rikaz, ghonimah, fai, zakat, dan lain sebagainya. Artinya tersedia sumber pendanaan yang besar bagi negara. Walhasil negara tidak akan mengambil pajak. Pengambilan pajak di dalam Islam hanya terkait dengan kebutuhan negara yang krusial dan dikenakan pada warga yang mampu. Dan penarikan pajak dilakukan tatkala kas negara dalam keadaan kosong. Pajak yang sedemikian disebut dharibah. Mengenai penarikan pajak yang dijadikan sebagai sumber keuangan utama negara termasuk ke dalam al-maksu. Al-maksu (pajak) merupakan kedholiman negara atas rakyatnya.

Demikianlah penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan negara dalam Islam kepada rakyatnya. Tidak heran bila rakyat akan senantiasa merasa memiliki negaranya. Sedangkan negara berusaha menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Inilah pemerintahan Islam yang tercermin dalam bentuk Kekhilafahan yang akan menerapkan Islam secara paripurna.


Share this article via

55 Shares

0 Comment