| 245 Views

"Angka Kriminalitas Anak yang Meningkat di Boyolali" : Solusi atau Ilusi?

Oleh : Tsabitah Dien

Peningkatan jumlah kasus anak di Boyolali yang berhadapan dengan hukum mencapai 81 kasus, menjadikannya yang tertinggi di tahun ini. Pada Senin (30-9-2024), Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Boyolali, Tri Anggoro Mukti, mengatakan bahwa barang bukti yang dimusnahkan terdiri dari berbagai kasus yang telah inkracht pada periode Maret hingga Agustus 2024. Setidaknya ada 91 perkara, yang terdiri dari 57 perkara tindak pidana umum dan 34 perkara tindak pidana ringan (tipiring).

Kasus yang melibatkan anak, baik sebagai pelaku maupun korban, terus menjadi fokus perhatian. Untuk itu, program "Save of Youth" atau B-SAVE  digulirkan oleh Boyolali kepada masyarakat guna meningkatkan kesadaran atas bahayanya anak berhadapan dengan hukum pidana, dengan harapan besar dapat mengurangi jumlah anak yang terlibat dalam tindak pidana.

Negara Tidak Mampu Memangkas ataupun Memberantas?

Beberapa kebijakan dan program sudah diluncurkan, namun mengapa kasus tindak pidana, baik umum maupun ringan, di kalangan tua maupun muda, tidak pernah berkurang, justru semakin bertambah?

Ironisnya, beberapa kasus dan kebijakan ternyata mampu menyadarkan masyarakat. Sistem sekuler kapitalis yang telah mendarah daging justru menjadi rahim lahirnya masyarakat dengan gaya hidup bebas (liberal), yang sering kali menerobos batasan halal dan haram, baik dan buruk, serta hak dan bathil. Tak heran jika banyak dari masyarakat yang mudah terjerumus dalam tindakan kriminal.

Selain itu, penyikapan yang keliru seolah dibenarkan dengan alasan bahwa "pelakunya masih anak-anak", sehingga tidak diberikan hukuman yang dapat menimbulkan efek jera.

Sistem Kapitalisme juga mengaburkan peran ibu dalam mendidik dan menjaga anak karena tekanan ekonomi. Banyak ibu terpaksalah bekerja meninggalkan anak-anak mereka. Sehingga mereka menjadi kurang perhatian terhadap anak anak mereka. Pada akhirnya, hal ini berpotensi membuat anak-anak terjebak dalam kasus kriminalitas.

Harapan Hanya pada Sistem Islam

Paham Sekularisme lahir dari akal manusia dan mengajarkan pemisahan agama dari kehidupan sehari-hari. Maksudnya, agama atau Tuhan tidak boleh mengatur urusan dunia seperti ekonomi, sosial, budaya, politik, pemerintahan, maupun interaksi sosial. Agama atau Tuhan hanya dibatasi pada ranah ibadah saja.

Akibatnya, para penganut sekularisme membuat aturan yang tidak didasarkan pada prinsip-prinsip Islam dan tidak mempertimbangkan aspek halal dan haram. Dari sinilah kemudian muncul konsep liberalisme, yaitu kebebasan bertindak dan berperilaku. Inilah pijakan utama masyarakat dalam bertindak.

Berbeda hal nya dengan sistem Islam. Aturan dalam sistem Islam lahir dari sang pencipta manusia, yang paling mengetahui baik buruknya manusia.
Berikut adalah solusi solutif yang di sodorkan terhadap tingginya kriminalitas anak dalam Islam. Diantaranya:

1. Keluarga berfungsi sebagai madrasatul ula (madrasah yang pertama). Orang tua akan memberikan kasih sayang kepada anak dan mengajarkan agama sebagai pedoman hidup. Dengan begitu anak akan tumbuh menjadi pribadi yang beriman dan takwa serta takut melakukan dosa. Mereka akan menjauh dari perbuatan yang bisa menghantarkan mereka ke neraka.

2. Pendidikan Islam berbasis akidah. Dalam pendidikan ini, akidah jadi landasan utama untuk belajar. Dengan cara ini, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkepribadian Islam. Mereka diajarkan untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Kegiatan sehari-hari mereka akan dipenuhi dengan belajar dan berbuat baik, serta menjauh dari hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi maksiat.

3. Negara mengawasi informasi dengan ketat. Mereka menggunakan teknologi canggih untuk melawan semua jenis konten negatif, seperti pornografi dan kekerasan. Sehingga konten yang sampai ke masyarakat, termasuk anak-anak, hanyalah yang mengandung nilai-nilai kebaikan.

4. Menerapkan sistem sanksi Islam. Batas usia anak di negara sekuler ada pada usia 18 tahun, sementara dalam Islam batasnya ditentukan berdasarkan status mukalaf, yaitu seseorang yang sudah berakal, balig, dan sadar akan perbuatannya.

Jika seseorang sudah menunjukkan satu atau lebih tanda balig (‘alamat al-bulugh) yang ditetapkan oleh syariat, berarti dia sudah dianggap mukalaf dan bisa dikenakan sanksi jika melakukan tindakan kriminal (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 108; Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami, 1/602).

Diantara tanda-tandanya antara lain adalah :

1. Ihtilam, yang berarti keluarnya mani dari laki-laki atau perempuan, baik saat tidur (seperti mimpi basah) maupun saat sadar (seperti onani).
2. Munculnya rambut di daerah kemaluan, baik pada laki-laki maupun perempuan.
3. Bagi perempuan, sudah haid atau melahirkan.
4. Sudah mencapai usia balig, baik laki-laki maupun perempuan, yaitu 15 tahun menurut mayoritas ulama, yang dihitung berdasarkan kalender Kamariah, bukan kalender syamsiah
(Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 8/186 & 13/248; Imam Syaukani, Nailul Authar, 7/55-60, bab ‘Alamat al-Bulugh', kitab At-Taflis).

Oleh karena itu, jika pelaku kriminal adalah orang gila atau anak di bawah umur (belum balig), mereka tidak dapat dihukum. Namun, jika perbuatan kriminal yang dilakukan anak di bawah umur tersebut disebabkan oleh kelalaian walinya, seperti ketika wali mengetahui tetapi membiarkannya, maka wali yang akan dijatuhi sanksi. Jika tidak ada kelalaian dari wali, maka wali tersebut tidak akan dihukum (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 108).

Khatimah

Mengoptimalkan peran keluarga, kontrol masyarakat, dan peran negara akan menjadikan anak berada dalam asuhan yang benar. Sehingga tindakan kriminal sangat mungkin ditekan dan dicegah.

Wallahu 'alam.


Share this article via

76 Shares

0 Comment