| 294 Views
UMKM Naik Kelas: Jaminan Problem Ekonomi akan Tuntas?

Oleh : Tresna Mustikasari, S.Si
Muslimah Penggiat Literasi
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) digadang-gadang memainkan peran penting dalam perekonomian Indonesia. Menurut data dikatakan UMKM berkontribusi 60,3% dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia, menyerap 97% tenaga kerja, dan menyediakan 99% lapangan kerja di Indonesia. Dengan prestasi tersebut, tidak heran banyak kebijakan pemerintah pusat maupun daerah yang terus mendorong kemajuan dari UMKM. Termasuk pemerintahan Provinsi Jawa Barat, sebagai turunan dari program UMKM Naik Kelas, diluncurkan program SNI Corner dan WiFi Corner. Meskipun baik, tetapi masih membutuhkan langkah-langkah yang lebih strategis dan mendalam.
Program SNI Corner bertujuan untuk membantu UMKM memperoleh sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI). Sertifikasi ini penting untuk memastikan bahwa produk mereka memenuhi standar kualitas nasional, sehingga dapat meningkatkan daya saing di pasar. Di sisi lain, WiFi Corner menyediakan akses internet gratis di berbagai lokasi strategis untuk mendukung digitalisasi UMKM. Dengan akses internet, pelaku UMKM dapat memasarkan produk mereka secara online, mengakses informasi, serta mengikuti pelatihan digital.
Meskipun program seperti SNI Corner dan WiFi Corner bermanfaat, tetapi kebutuhan riil UMKM seringkali lebih mendasar. Pelaku UMKM membutuhkan modal dan akses pasar yang lebih luas. Modal diperlukan untuk mengembangkan usaha, membeli bahan baku, serta memperluas kapasitas produksi. Selain itu, akses pasar yang lebih luas akan membantu UMKM untuk menjual produk mereka ke segmen yang lebih besar, baik nasional maupun internasional.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme seperti yang diterapkan di negeri ini, pemerintah seringkali berperan sebagai regulator dan fasilitator saja. Mereka menyediakan pelatihan, pinjaman, dan pendampingan, namun seringkali membiarkan UMKM berjuang sendiri setelahnya. Pendekatan ini tidak cukup untuk menyelesaikan masalah yang lebih mendasar seperti ketergantungan pada produsen besar di sektor hulu.
Selain itu, dalam sistem kapitalisme, UMKM seolah-olah memiliki peran yang sangat strategis dalam kemajuan ekonomi negara. Padahal, UMKM adalah solusi sementara dari masalah ekonomi. UMKM bukan sektor strategis, melainkan sektor hilir yang masih disetir oleh produsen besar. Meski penting, mereka tidak dapat menjadi pilar utama perekonomian karena ketergantungan mereka pada bahan dasar dari produsen besar.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam, sektor ekonomi informal seperti UMKM tidak dijadikan pilar utama perekonomian. Pemerintahan Islam berpegang pada prinsip kemandirian ekonomi yang mencakup beberapa poin utama.
Pertama, pengembangan industri difokuskan pada industri berat dan pengelolaan harta milik umum. Industri berat meliputi produksi mesin dan alat persenjataan, termasuk senjata kimia, biologi, dan obat-obatan. Industri pengelolaan harta milik umum mencakup pengolahan minyak bumi, barang tambang, listrik, dan logam. Kedua jenis industri ini dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Kedua, pemerintahan Islam mengatur kepemilikan harta menjadi milik individu, umum, dan negara. Harta milik umum tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta, dan negara bertanggung jawab mengelolanya untuk kepentingan rakyat.
Ketiga, negara menyediakan modal usaha bagi rakyat yang belum bekerja melalui kas baitulmal, termasuk pemberian tanah mati atau pinjaman tanpa riba. Negara juga menafkahi mereka yang tidak mampu bekerja atau tidak memiliki keluarga yang mampu menafkahi. Maka, jika dikaitkan dengan kebutuhan UMKM di atas, negara lebih proaktif dalam mendukung merekadengan menyediakan akses modal yang lebih mudah dan murah, serta membantu dalam pemasaran produk. Kemitraan strategis antara UMKM dan perusahaan besar juga perlu difasilitasi agar UMKM tidak hanya menjadi rantai pasok tetapi juga dapat berkembang menjadi produsen yang mandiri.
Keempat, penghapusan budaya konsumtif dengan mendorong pola hidup sehat, sederhana, dan secukupnya, sesuai standar Islam. Dengan begitu, masyarakat lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder, serta mendorong orang kaya untuk bersedekah dan berinfak, sehingga harta tidak hanya beredar di kalangan orang kaya.
Secara keseluruhan, pilar perekonomian dalam Islam adalah sektor riil yang didukung oleh industri berat dan pengelolaan sumber daya alam, dengan penerapan sistem Islam yang komprehensif dan menyeluruh.
Demikianlah, hanya dengan upaya kolektif dan penerapan kebijakan yang tepat, kita bisa memastikan bahwa semua sektor ekonomi, termasuk UMKM, dapat berkembang secara mandiri dan memberikan kontribusi yang signifikan bagi kesejahteraan rakyat. Semua itu akan bisa tercapai ketika peraturan Islam menjadi landasan kita dalam bernegara. Allah sendiri sudah mengabarkan dalam Al-quran surat Al-A’raf ayat 97:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
Artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Semoga keberkahan dari langit dan bumi yang Allah janjikan kepada kita bisa segera kita rasakan. Tugas kita saat ini adalah kembali ke dalam islam secara kaffah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para kekhilafahan setelahnya. Wallahualam bissawab.