| 250 Views
Tren S Line: Maksiat Kok Dipamerin?

Oleh: Yuli Ummu Raihan
Aktivis Muslimah Tangerang
Kembali masyarakat kita terutama generasi muda latah mengikuti tren yang dikenal dengan istilah " S Line". Sebuah tren yang berawal dari tayangan drama Korean terbaru berjudul "S Line" atau "sex line" yang menceritakan salah satu pemeran dalam drama tersebut dapat melihat garis-garis merah di atas kepala orang-orang di sekitarnya. Visual inilah yang akhirnya diadopsi secara masif sebagai konten di media sosial. Garis-garis merah ini ternyata menyimpan arti yang sensitif yang merupakan simbol tak kasatmata yang menghubungkan seseorang dengan pasangan seksualnya. Jumlah garis merah di atas kepala merepresentasikan jumlah orang yang pernah berhubungan seksual dengannya. Garis itu akan hilang secara otomatis ketika salah seorang dari mereka meninggal dunia. (Detik.com, 20/7/2025).
Tren ini menjadi viral di Indonesia dengan dalih sekadar lucu-lucuan. Sungguh ini tidaklah lucu! Ini adalah bentuk rusaknya generasi hari ini. Inilah hasil ketika tontonan menjadi tuntutan.
Ini adalah akibat penerapan sistem kehidupan sekuler yang mana agama dipisahkan dari kehidupan. Agama hanya sebatas ibadah ruhiyah, tidak menjadi aturan dalam segala aspek kehidupan. Tidak heran kenapa drama Korea bisa mengangkat cerita seperti itu, karena memang mayoritas mereka tidak beragama. Mereka tidak mengenal haramnya berpacaran apalagi melakukan hubungan seksual. Mereka bebas menyalurkan naluri seksual tanpa ada aturan karena memang tidak diatur oleh agama atau negaranya. Standar perbuatan mereka adalah materi, jadi selama hal ini mendatangkan materi atau kesenangan untuk mereka, maka akan mereka lakukan.
Sikap Seorang Muslim
Bagi kita yang mengaku seorang Muslim tentu tidak layak dan pantas untuk mengikuti tren semacam ini dengan alasan apa pun. Hal ini tentu sangat berbahaya dan berefek buruk dalam kehidupan sosial. Apa manfaatnya menyebarkan aib seperti itu? Di mana rasa malu, apalagi sebagai seorang wanita?
Islam adalah agama yang sempurna. Islam memiliki seperangkat aturan yang bertujuan untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Sebagai seorang Muslim kita harus yakin bahwa semua syariat yang diturunkan Allah adalah baik dan pasti membawa kebaikan. Kita harus menerima dan menjalankannya dengan penuh keikhlasan dan tanpa ragu.
Dalam Islam mendekati zina saja sudah dilarang, apalagi berzina lalu dengan bangga menceritakan kepada semua orang.
Allah berfirman dalam QS Al- Israel ayat 32: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk."
Allah sudah sangat baik menutupi aib kita, tetapi kenapa hari ini justru manusia bangga membuka aibnya sendiri. Ini bukti bahwa rasa malu sudah hilang dari generasi hari ini. Padahal malu adalah sebagian dari keimanan.
Tren S Line ini juga membuktikan bahwa masalah seksual hari ini tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral. Padahal Islam sudah mengatur terkait hal ini. Manusia dianugerahi naluri seksual yang merupakan bagian dari fitrah manusia. Islam juga mengatur cara pemenuhannya. Salah satunya dalam firman Allah di QS. An-Nur ayat 30-31 yang memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan agar menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya.
Jika seorang laki-laki telah mampu, maka ia diperintahkan untuk menikah karena menikah adalah sarana penyaluran kebutuhan seksual.
Islam juga mengatur terkait penggunaan media sosial. Media sosial adalah alat yang berpotensi mendatangkan kebaikan dan keburukan. Semua tergantung pilihan yang diambil manusia, akan menggunakannya untuk kebaikan atau mendatangkan keburukan hingga dosa jariyah. Apa pun yang kita unggah, lihat dan bagikan di media sosial kita kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Tren ini membuktikan bahwa kita sangat butuh sistem yang menjaga, bukan sistem yang memberi ruang kebebasan dan keburukan. Kita butuh sistem yang membuat manusia memiliki rasa malu, dan harga diri. Kita butuh sistem yang menjadikan agama ini sebagai pengatur semua aspek kehidupan, bukan sekadar ranah ruhiyah.
Ingatlah perkataan Imam Ibnul Qayyim :"Di antara bentuk hukuman atas dosa adalah hilangnya rasa malu dari pelakunya, lalu ia bangga dengan dosanya dan memamerkannya."
Hal ini tentu akan bisa diatasi jika Islam diterapkan secara kafah mulai dari sistem pendidikan, sosial, sanksi hingga pemerintahan.
Jangan latah mengikuti sebuah tren hanya karena tidak mau fomo. Mari kita bijak dalam bermedia sosial.
Wallahua'lam bishawab.