| 117 Views
THR dan Jeratan Pajak

Oleh : Fera Maulida
Pendidik Generasi dan Aktivis Muslimah
Sejak 1 Januari 2024, pemerintah telah menerapkan skema perhitungan pajak baru untuk pajak penghasilan orang pribadi, yang biasa disebut PPh pasal 21, yang mengacu pada nomor pasal dalam UU PPh.
Skema baru ini menggunakan tarif pajak efektif rata-rata (TER) yang dibagi menjadi dua jenis: tarif pajak efektif bulanan untuk pegawai tetap dan pensiunan, dan tarif pajak efektif harian untuk pegawai tidak tetap.
Tiga hal mengenai pajak THR:
1. Pajak THR untuk karyawan dibayar secara pribadi
Pajak THR untuk karyawan di sektor swasta dibayarkan oleh masing-masing karyawan secara pribadi. Pemotongan dilakukan langsung oleh pemberi kerja dan kemudian diteruskan ke kas negara.
2. Pajak THR untuk pegawai negeri dibayar oleh pemerintah
Berbeda dengan karyawan swasta, pajak THR untuk pegawai negeri sipil dibayarkan oleh pemerintah.
3. Pajak THR digabungkan dengan penghasilan lainnya
Menurut Panduan Komprehensif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Direktorat Jenderal Pajak (DJP), penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap adalah dengan menghitung seluruh penghasilan bruto yang diterima dalam satu bulan terakhir.
Penghasilan yang dimaksud meliputi seluruh gaji, semua jenis tunjangan, dan penghasilan tetap lainnya. Selain itu, termasuk juga bonus, THR, jasa produksi, komisi, premi, dan penghasilan tidak teratur lainnya.
Penerapan pajak atas THR merupakan ciri khas kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalis menganggap pajak sebagai sumber utama penerimaan negara. Hal ini terlihat dari proporsi penerimaan pajak yang lebih besar dibandingkan dengan sumber-sumber penerimaan lainnya.
Pada tahun 2023, pendapatan pemerintah mencapai Rp2.774,3 triliun. Penerimaan perpajakan mencapai Rp2.155,4 triliun atau 77%. Di sisi lain, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hanya sebesar Rp605,9 triliun atau 21%. (media online Katadata, 3-1-2024).
Di dalam PNBP tersebut, terdapat Pos Pendapatan SDA yang tentunya lebih kecil. Mengingat kekayaan sumber daya alam Indonesia yang luar biasa, maka pendapatan dari SDA sangat minim, sedangkan mayoritas pendapatan berasal dari pajak. Pajak sendiri merupakan bentuk kontribusi masyarakat kepada negara. Dominasi pajak dalam penerimaan negara, seperti yang terlihat dalam APBN, menunjukkan bahwa rakyat membiayai negara secara mandiri.
Lalu, apa peran pemerintah? Apakah hanya sebagai pemungut pajak? Mengapa pemerintah seakan-akan menjadi "pemburu" pajak? Dengan berbagai cara, penerimaan pajak ditingkatkan, dan hampir semua hal dikenakan pajak.
Ironisnya, penerimaan pajak yang menjadi sumber pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan tidak mudah diakses oleh masyarakat. Terbukti pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan menjadi makin mahal. Untuk menikmati manfaat pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, kereta cepat, dan lainnya, masyarakat harus membayar dari kantong sendiri.
Situasinya berbeda dalam sistem pemerintahan Islam yang tidak menganggap pajak sebagai sumber utama pendapatan nasional.
Sumber-sumber pendapatan pemerintah Islam meliputi:
Pertama, bagian zakat dan kharaj. Ini termasuk bagian dari tanah (ganimah, fai, dan khumus), bagian dari kharaj, bagian dari kepemilikan tanah, bagian dari jizyah, bagian dari zakat, dan bagian dari dharibah (pajak).
Kedua, bagian kepemilikan umum, termasuk bagian minyak dan gas, listrik, pertambangan, air, dan tanah; dan bagian aset yang dilindungi oleh negara untuk tujuan tertentu.
Ketiga, porsi zakat, termasuk di dalamnya bagian zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian, dan zakat peternakan.
Islam akan mengoptimalkan pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam milik negara dan pungutan non-koersif seperti zakat mal, jizyah, kharaj, dan lain-lain. Dari semua sumber pendapatan ini, negara akan menerima pendapatan yang signifikan, sehingga tidak perlu lagi melakukan pinjaman dan pajak.
Dharibah (pajak) hanya merupakan sumber pendapatan yang bersifat insidentil, tidak terus menerus. Pajak hanya dipungut dari orang-orang kaya ketika dana negara menipis dan ada kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, pajak bukanlah sumber utama pendapatan pemerintah.
Islam tidak akan memungut pajak dari semua warganya (kaya dan miskin) secara terus menerus, seperti yang dilakukan oleh negara-negara kapitalis saat ini. Pajak hanya akan dipungut dari orang-orang kaya. Dengan APBN yang terencana dengan baik dalam sistem Islam, kemandirian ekonomi akan tercapai, sehingga tidak perlu lagi memungut pajak.
Sistem Islam akan menjamin kesejahteraan rakyatnya, tidak hanya dengan memberikan THR tahunan, tetapi dengan menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan secara gratis, sehingga rakyat tidak perlu membayarnya.
Islam juga akan menerapkan sistem pengupahan yang adil, di mana para pekerja mendapatkan upah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Fasilitas umum, seperti transportasi dan lainnya, serta hasil pengelolaan SDA, seperti BBM dan gas, dapat diakses oleh masyarakat dengan harga yang terjangkau. Rangkaian kebijakan ekonomi ini akan menciptakan kesejahteraan yang langgeng bagi masyarakat. Kesejahteraan yang sesungguhnya, bukan sekadar THR tahunan.
Semua ini akan didapat ketika negara mengganti sistem saat ini ke sistem sahih yang berasal dari Allah Swt., yakni sistem Islam. Sistem yang akan membawa kemaslahatan bagi setiap umat.
Wallahualam bissawab