| 140 Views
Sinkretisme No, Toleransi Yes!

Oleh : Aisha El-Mahira
Festival budaya kembali diadakan di kampung Lebak, Ciamis. Festival ini diadakan dalam rangka merayakan hari raya Konghucu. Festival ini sudah dirindukan oleh warga Ciamis karena sudah 2 tahun lamanya kegiatan ini tidak dilaksanakan. Adapun untuk tahun ini, festival budaya kampung Lebak dalam rangka Imlek berlangsung dengan meriah. Berbagai kalangan masyarakat Ciamis antusias untuk menyaksikan festival tersebut. Sejumlah penampilan khas Imlek digelar dalam festival, dimulai dari penampilan naga liong dan barongsai yang menarik perhatian penonton. Kemudian disusul dengan penampilan lokal seperti marawis, qosidah, tari jaipong, kesenian angklung, dan lain sebagainya.
Festival budaya digelar di halaman Gereja Katolik Santo Yohanes, kampung kerukunan Ciamis, pada Minggu, 2 Febuari 2025 lalu. Di kampung tersebut, berdiri beberapa tempat ibadah yang berdekatan, yakni masjid, gereja, klenteng, dan Litang.
Meskipun penduduknya memiliki kepercayaan yang berbeda-beda, masyarakat disana tetap hidup rukun dan saling berdampingan. Hal ini dikuatkan oleh Bili Sutanto selaku ketua panitia festival budaya kampung Lebak memberikan pesan dari diadakannya acara festival ini. Beliau mengungkapkan bahwa meski berbeda tetapi tetap menjaga kerukunan umat beragama. (detik.com, 02/02/2025).
Jika kita perhatikan lebih teliti, dalam perayaan Imlek tersebut terdapat unsur yang seharusnya tidak disatukan. Sebagaimana kita ketahui bahwa marawis dan qosidah adalah kesenian khas muslim, sudah seharusnya kita mencampuradukkan agama yang satu dengan yang lain. Menggabungkan antara berbagai kesenian agama dalam suatu perayaan agama lain, meskipun itu dengan dalih menjaga kerukunan umat beragama, tetap haram hukumnya.
Hal ini dapat terjadi karena diantara masyarakat timbul anggapan bahwa semua agama itu sama (pluralisme). Pemahaman ini mengubah pola pikir masyarakat bahwa para pemeluk agama tidak boleh mengklaim hanya agamanya saja yang paling benar. Anggapan tersebut memicu masyarakat untuk ikut serta merayakan perayaan agama lain. Selain masyarakat Ciamis yang ikut perayaan Imlek dalam festival budaya, ada pula fenomena sejenis yakni ketika hari raya natal dan tahun baru tiba. Sejatinya perayaan natal, tahun baru, dan Imlek, bukan budaya umat muslim. Mirisnya, umat muslim tidak paham akan hal ini. Bahkan sampai ada yang mengucapkan selamat, memakan pakaian sinterklas di tempat kerjanya, dan yang paling parahnya mengikuti perayaan langsung di tempat ibadahnya.
Dari hal tersebut timbullah benih-benih sinkretisme (mencampuradukkan antara keimanan dan kekufuran). Sudah pasti pula nilai sinkretisme ini sangat dilarang dalam Islam, karena nilai ini bertantangan dengan firman Allah SWT yang artinya :
"Janganlah kalian mencampuradukkan yang Haq dengan yang bathil. Jangan pula kalian menyembunyikan yang Haq itu, sedangikan kalian mengetahui." (TQS. Al-Baqarah : 42)
Tentu hal tersebut merupakan telorensi yang kebablasan. Dengan dalih menjaga kerukunan umat beragama, tapi yang terjadi malah melabrak norma-norma agama. Toleransi dalam festival budaya diatas sudah menyangkut perkara keimanan dan ibadah yang mana hal itu telah dilarang dalam Islam. Sebagaimana tanpa sadar toleransi tersebut dapat merusak Aqidah seorang muslim.
Sikap seorang muslim sejati dalam mengatasi perbedaan agama ini bukanlah dengan mengikuti perayaan agama-agama lain. Namun dengan memberi kebebasan kepada agama lain untuk menjalankan ibadah dan perayaannya masing-masing karena haran bagi seorang muslim ikut merayakan hari raya unat agama lain. Sebagaimana yang Rasulullah lakukan terhadap orang Quraisy saat Rasul diajak menyembah Tuhan mereka dan mereka menyembah Allah dalam beberapa waktu, Rasul menolak dengan tegas. Kemudian turunlah QS. al-Kafiruun yang menjadi pedoman umat muslim mengatasi perbedaan beragama.
Islam mempunyai aturan dalam menata hubungan antar umat beragama. Islam sangat mementingkan toleransi dalam lingkungan umat beragama. Sudah pasti toleransi tersebut tidak menyangkut keimanan, karena dalam Islam tidak ada dalam perkara akidah. Islam mengajarkan untuk tidak memaksa non muslim memeluk Islam (QS.Al-Baqarah : 256), saling tolong menolong tanpa memandang agama, membolehkan bermuamalah dengan non mumslim, mengharamkan tindakan mengganggu harta, kehormatan, dan jiwa sesama manusia.
Aturan Islam terhadap hubungan umat beragama terbukti sukses menjaga kerukunan beragama selama ribuan tahun sejak masa Rasulullah sampai sepanjang masa kekhalifahan Islam. Pemeluk agama Islam, Kristen, Yahudi, hidup berdampingan, harmonis, aman, damai, dan bahagia tanpa mencampuradukkan keimanan dan kekufuran.
Jadi, untuk mengatasi perbedaan agama sesuai dengan tuntunan Rasulullah, dibutuhkan sistem Islam secara Kaffah sehingga praktik toleransi tidak akan kebablasan dan akidah umat benar-benar terjaga. Tidak ada lagi cerita umah muslim ikut merayakan perayaan agama lain dengan anggapan semua agama sama. Hanya dengan Islam kerukunan dapat benar-benar terjadi.
WalLahu a'lam bi ash-showwab.