| 59 Views
Polemik Tol dalam Sistem Kapitalisme

Oleh: Annisa Rofiqo, S.Pd
Pegiat Literasi Islam Kafah
Tarif Tol Cibitung-Cilincing kian menjadi perbincangan. Pasalnya, tarif tol ini dinilai terlalu mahal dengan jarak 34 km truk dikenakan biaya Rp.102.500,- sedangkan Tol JORR (Jakarta Outer Ring Road) 1 hanya dikenakan Rp. 25.000,- untuk jarak 66 km. Ketua ALFI (Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia) Adil Karim menyampaikan, biaya Tol Cibitung-Cilincing yang terlalu mahal malah menghambat tujuan dari pembangunan tol itu sendiri. Seharusnya tol ini mampu memperlancar distribusi logistik dari Cibitung ke Tanjung Priok dengan waktu yang lebih efisien. Namun, karena tarifnya terlalu mahal sehingga para pelaku logistik lebih memilih Tol Cikampek-Priok meski harus melalui jalur lebih padat. (radarbekasi.id, 21/6/2025).
Tol Cibitung-Cilincing dengan jarak tempuh 34 km mampu memangkas waktu perjalanan yang tadinya membutuhkan waktu 2 jam, belum ditambah dengan kemacetan lalu lintas, menjadi 30 menit saja. Namun, efisiensi ini belum banyak dimanfaatkan terutama pengusaha kecil maupun sopir truk karena terkendala biaya tarif yang tinggi. Harapannya biaya tarif tol ini bisa ditekan agar semua kalangan merasakan manfaatnya.
Tol untuk Memudahkan Bukan Mencari Keuntungan
Jalan tol adalah jalan yang dikenakan biaya saat menggunakan jalan tersebut untuk melintasinya sesuai syarat dan ketentuan tertentu. (Wikipedia) Pembangunan tol dibuat untuk memudahkan urusan rakyat, diantaranya meningkatkan konektifitas antardaerah sehingga jarak tempuh bisa lebih efektif dan efisien, serta mampu memperlancar aktivitas perekonomian. Indonesia telah membangun jalan tol sejak tahun 1978 yakni Tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi) dengan jarak tempuh 59 km. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa pembangunan tol di Indonesia, Negara selalu melibatkan swasta ataupun perusahaan asing, baik untuk modal pembangunannya maupun proses pelaksanaannya.
Prinsip good governance yang digaungkan saat ini yakni Negara dan swasta harus berkolaborasi untuk pembangunan Negara, membuat Negara secara tidak langsung akan ‘berpihak pada swasta’ dalam tujuan maupun proses pembangunannya. Swasta maupun perusahaan asing memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan dalam seluruh aktivitasnya, termasuk berkolaborasi atau bekerja sama dengan pemerintah pun harus meraup keuntungan.
Inilah yang menjadi polemik, di mana seharusnya Negara membangun tol untuk kemaslahatan rakyatnya, namun karena menggandeng swasta sehingga tujuan kemaslahatan ini beralih menjadi mencari keuntungan. Pihak yang paling diberatkan adalah rakyat, ribuan kendaraan setiap harinya melewati tol dan membayar biaya tol, kebanyakan masuk ke kantong swasta, belum lagi ada kebijakan kenaikan tarif tol, rakyat semakin sengsara. Sebagaimana Tol Cibitung-Cilincing ini juga disebut menjadi solusi efektivitas untuk perjalanan Jakarta-Priok, tetapi dengan tarif yang tinggi, apakah menjadi solusi yang tepat untuk rakyat?
Hal ini hanya menjadi solusi semu, lagi-lagi terdapat eksklusifitas, hanya kalangan tertentu yang mampu saja yang bisa mendapatkan manfaat dari tol ini.
Potret Negara yang mengadopsi kapitalisme sebagai sistem ekonominya tidak akan mendatangkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sebab setiap kebijakan yang dibuatnya bisa disetir oleh para capital (pemilik modal) yang pada akhirnya akan menguntungkan pemilik modal juga.
Islam Punya Solusi
Islam hadir bukan hanya sebagai agama ritual semata, melainkan Islam memiliki pengaturan sistem kehidupan dalam berbagai aspek yang menguntungkan bagi manusia. Aturan yang dibuat oleh Allah, sebagai pencipta yang paling mengetahui tentang kebutuhan manusia, tidak hanya manusia secara individu, melainkan dalam bermasyarakat dan bernegara.
Dalam Islam, jalan raya menjadi tanggung jawab Negara yang merupakan salah satu dari pelayanan Negara terhadap rakyatnya. Dalam hal ini, Negara menjadi pelayan dan pemelihara, bukan pebisnis. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,
Rasulullah Saw. bersabda, “Seorang imam (Khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Jalan raya yang merupakan infrastruktur umum adalah bagian dari pengurusan Negara terhadap rakyatnya, dan bisa diakses oleh siapa pun dengan gratis. Adapun biaya pemeliharaan tidak dibebankan kepada rakyatnya melainkan Negara bisa mengambil dananya dari Baitul Mal. Tidak dibenarkan untuk Negara menyerahkan pelayanan umum bagi rakyat kepada pihak swasta, sama halnya dengan memindahkan tanggung jawab.
Oleh sebab itu, dengan tujuan melayani dan mengurusi urusan rakyat, Negara akan berusaha menyediakan infrastruktur yang aman, murah, dan nyaman. Negara akan melakukan perencanaan tata ruang kota yang memudahkan bagi rakyatnya. Hal ini hanya bisa terlaksana dengan menerapkan Islam secara kafah dalam tataran Negara, dan telah terbukti 13 abad lamanya, Islam diterapkan dalam naungan Khilafah.
Sebagaimana dulu, ketika Baghdad sebagai ibukota, rakyat dimudahkan dengan segala infrastruktur dan pelayanan umum yang tertata dan mudah diakses, sehingga pada masanya menjadi kota rujukan dan paling modern.
Islam mulia dan memuliakan siapa pun yang menerpakannya. Maka, jika banyak kesulitan saat ini yang kita rasakan, mungkin karena jauhnya kita dengan Islam. Mari, kembali kepada Islam sebagai solusi tuntas atas segala permasalahan yang ada.
Wallaahu a’lam bish showab