| 15 Views

Perempuan dan Anak Membutuhkan Jaminan Perlindungan Siber dari Negara

Oleh : Siti Aisyah
Aktivis Dakwah

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifatul Choiri Fauzi mengatakan, sebagian besar penyebab atau sumber dari kekerasan terhadap perempuan dan anak, dipicu oleh media sosial atau gadget. Menurutnya, fenomena ini menjadi perhatian serius mengingat tingginya keterpaparan anak terhadap dunia digital yang tidak disertai kontrol dan bimbingan yang memadai.

Karena dari beberapa kekerasan yang dialami atau dilakukan kepada anak-anak hampir sebagian besar penyebabnya atau sumbernya dari pengaruh media sosial atau gadget,” kata Arifatul di kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Jakarta Pusat, Kamis, 10 Juli 2025.

Ada 11.800 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 1 Januari hingga Juni 2025. Kemudian, dari awal Januari hingga 7 Juli 2025 totalnya sudah mencapai 13.000 kasus,” kata dia.

Bahaya Siber Semakin Marak, Apa Sebabnya?

Penggunaan gawai berbasis internet pada era sekarang ini memang tidak bisa dihindari. Dalam pendidikan, misalnya, gawai dan internet dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran, media interaksi, dan alat untuk meningkatkan efisiensi belajar. Dalam bidang komunikasi, memungkinkan komunikasi jarak jauh untuk mengakses berbagai informasi dan perluasan jaringan sosial. Selain itu, keduanya juga dapat dimanfaatkan untuk hiburan, mencari penghasilan, bahkan alat pertahanan dan keamanan negara.

Problemnya, perkembangan dunia siber hari ini memang nyaris tanpa kendali. Konten apa pun—seperti judol, kekerasan, dan pornografi—tersedia di dunia maya dan bisa dengan mudah diakses siapa saja, termasuk anak-anak. Terlebih, tidak sedikit orang tua yang bermudah-mudah memberikan gawai ke anak-anaknya hanya demi gaya hidup atau sebagai alat bujuk agar aktivitas mereka tidak terganggu. Padahal, memberikan gawai pada anak, apalagi di bawah umur, sejatinya sedang memberikan racun yang berpotensi membahayakan kehidupan masa depan anak.

Memang tidak bisa dimungkiri, gawai memiliki efek visual dan audio yang menarik sehingga sangat disukai oleh otak anak yang sedang berkembang. Itulah sebabnya banyak anak yang ketika orang tua tidak memberikan batasan, pada akhirnya sangat kecanduan gawai, bahkan hingga level yang sangat ekstrem. Tidak sedikit kasus gangguan perilaku (asosial, kasar, niradab, dsb.), munculnya gangguan kecerdasan, kecemasan, bahkan depresi, disebabkan oleh kecanduan gawai.

Berdasarkan data BPS 2022, diketahui bahwa jumlah pengguna gawai untuk anak usia dini di Indonesia mencapai 33,44%, yakni 25,5% pengguna anak berusia 0—4 tahun dan 52,76% anak berusia 5—6 tahun. (Kemendikbud, September 2024). Sigi Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia terhadap 8.700 responden pada 2024 juga menemukan 48% anak di bawah usia 12 tahun memiliki akses internet, terutama pada platform Facebook, Instagram, dan TikTok. Data pengguna di atas usia tersebut tentu jauh lebih besar lagi.

Masalahnya, pada saat yang sama, laporan soal kasus-kasus anak/remaja yang terkena penyakit psikososial akibat kecanduan gawai dari waktu ke waktu terus meningkat. Tidak sedikit rumah sakit jiwa (RSJ) di berbagai daerah yang melaporkan peningkatan kasusnya. RSJ Menur Surabaya, misalnya, melaporkan bahwa sejak periode Januari—Juli 2024 telah merawat 3.000-an anak dan remaja, sebagian besarnya mengalami gangguan jiwa lantaran kecanduan gawai. Rumah sakit ini juga mencatat adanya lonjakan signifikan dalam jumlah kunjungan rawat jalan pasien kesehatan jiwa anak dan remaja pada 2024, yakni sekitar 67% dengan total 13.864 kunjungan dari 2023 yang jumlahnya sekitar 8.260 kunjungan.

Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Apalagi pemberian gawai secara masif pada anak, termasuk anak usia dini, juga kerap menjadi sebab mereka rentan menjadi korban kejahatan berbasis siber, bahkan menjadi pelakunya. Jangankan anak-anak, perempuan dewasa ternyata tidak luput dari kejahatan siber. Komisi Nasional Perempuan mencatat, sepanjang 2024 terdapat 1.791 kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO), melonjak 48% dibanding tahun sebelumnya.Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 431 kasus eksploitasi anak selama 2021—2023. (Indonesia[dot]go, 8-5-2025).

Yang lebih mengejutkan, survei National Center on Missing and Exploited Children (NCMEC) menyebut Indonesia saat ini menempati peringkat keempat secara global dan peringkat kedua di kawasan ASEAN dalam jumlah kasus pornografi anak di ruang digital. (Tempo, 9-7-2025).

Bagaimana Solusinya Dalam Islam?

Ada banyak persoalan yang muncul akibat kemajuan dunia digital. Penggunaan gawai yang terlalu masif di usia dini dapat menjadikan  anak-anak semakin rentan terhadap ancaman siber.

Apalagi ada banyak konten media sosial yang menjadi pemicu adanya kekerasan pada mereka. Hal ini adalah buah rendahnya literasi digital dan juga lemahnya iman akibat sistem Pendidikan yang berbasis sekuler.

Namun sayangnya negara tidak memberikan perlindungan yang nyata.  Apalagi arus digitalisasi ditengarai  membawa banyak keuntungan materi, sehingga aspek keselamatan luput dari perhatian selama mendapatkan keuntungan. Inilah hasil penggunaan teknologi tanpa ilmu dan iman, satu konsekuensi dalam kehidupan sekuler kapitalisme.

Ada bahaya lainnya yaitu Penguasaan atas dunia siber juga bisa menjadi alat untuk menguasai negara. Negara wajib membangun sistem teknologi digital yang mandiri tanpa ketergantungan pada infrastruktur teknologi asing. Agar negara mampu mewujudkan informasi sehat bagi masyarakat, ruang siber syar’i dan bebas pornografi.

Peran negara sebagai junnah (pelindung dan penjaga rakyat) sangat dibutuhkan, dan akan terwujud dengan tegaknya Khilafah. Negara Islam akan memberikan arahan pada pengembangan teknologi termasuk dunia siber. Juga panduan dalam memanfaatkan dan semua itu untuk menjaga kemuliaan manusia dan keselamatan dunia akhirat. 

Wallahu 'alam.


Share this article via

13 Shares

0 Comment