| 10 Views
Perempuan Dan Anak Membutuhkan Jaminan Perlindungan Siber Dan Negara

Oleh : Dewi yuliani
Disistem kapitalisme saat ini Begitu banyak kita lihat persoalan yang muncul akibat kemajuan dunia digital. Penggunaan gawai yang terlalu masif di usia dini dapat menjadikan anak-anak semakin rentan terhadap ancaman siber. Apalagi ada banyak konten media sosial yang menjadi pemicu adanya kekerasan pada mereka.
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifatul Choiri Fauzi mengatakan, sebagian besar penyebab atau sumber dari kekerasan terhadap perempuan dan anak, dipicu oleh media sosial atau gadget. Menurutnya, fenomena ini menjadi perhatian serius mengingat tingginya keterpaparan anak terhadap dunia digital yang tidak disertai kontrol dan bimbingan yang memadai.
Penggunaan gadget berbasis internet pada era sekarang ini memang tidak bisa dihindari. Dalam pendidikan, misalnya, gadget atau internet dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran, media interaksi, dan alat untuk meningkatkan efisiensi belajar. Dalam bidang komunikasi, memungkinkan komunikasi jarak jauh untuk mengakses berbagai informasi dan perluasan jaringan sosial. Selain itu, keduanya juga dapat dimanfaatkan untuk hiburan, mencari penghasilan, bahkan alat pertahanan dan keamanan negara.
Yang memjadi akar masalahnya yaitu perkembangan didalam dunia siber hari ini memang nyaris tanpa kendali. Konten apa pun seperti judol, kekerasan, dan pornografi tersedia di dunia maya dan bisa dengan mudah diakses siapa saja, termasuk anak-anak. Terlebih lagi, tidak sedikit orang tua yang begitu mudah dalam memberikan gadget atau internet pada anak-anaknya hanya demi gaya hidup atau sebagai alat bujuk agar aktivitas mereka tidak terganggu. Padahal, memberikan gadget pada anak, apalagi di bawah umur, sejatinya sedang memberikan racun yang berpotensi membahayakan kehidupan masa depan anak.
Memang tidak bisa dimungkiri, gadget memiliki efek visual dan audio yang menarik sehingga sangat disukai oleh otak anak yang sedang berkembang. Itulah sebabnya banyak anak yang ketika orang tua tidak memberikan batasan pada anak akhirnya sangat kecanduan gadget, bahkan hingga level yang sangat ekstrem. Tidak sedikit kasus gangguan perilaku asosial, kasar, niradab, dsb. munculnya gangguan kecerdasan, kecemasan, bahkan depresi, disebabkan oleh kecanduan gadget. Bahkan anak di bawah usia 12 tahun memiliki akses internet, terutama pada platform Facebook, Instagram, dan TikTok.
Masalahnya, pada saat yang sama, laporan soal kasus-kasus anak/remaja yang terkena penyakit psikososial akibat kecanduan gadget dari waktu ke waktu terus meningkat. Tidak sedikit rumah sakit jiwa (RSJ) di berbagai daerah yang melaporkan peningkatan kasusnya. Rumah sakit ini juga mencatat adanya lonjakan signifikan dalam jumlah kunjungan rawat jalan pasien kesehatan jiwa anak dan remaja pada 2024, yakni sekitar 67% dengan total 13.864 kunjungan dari 2023 yang jumlahnya sekitar 8.260 kunjungan.
Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Apalagi pemberian gawai secara masif pada anak, termasuk anak usia dini, juga kerap menjadi sebab mereka rentan menjadi korban kejahatan berbasis siber, bahkan menjadi pelakunya. Jangankan anak-anak, perempuan dewasa ternyata tidak luput dari kejahatan siber.
Bahkan maraknya kasus kekerasan atau kejahatan siber yang kerap menimpa perempuan dan anak memang dipandang sebagai bentuk kejahatan baru yang terus berkembang sejalan perkembangan teknologi digital. Bentuknya sendiri bisa berupa perundungan penyebaran konten porno, pendekatan untuk memperdaya demi mendapat keuntungan seksual juga pelecehan secara online peretasan dan pemalsuan akun korban (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), rekrutmen daring (online recruitment), pemerasan, dan sebagainya.
Pemerintah sendiri telah bekerja sama dengan berbagai pihak untuk terus mengampanyekan antikekerasan di berbagai lingkungan, mulai dari sekolah, permukiman kota dan desa, tempat kerja, hingga dunia maya, sekaligus terus mengampanyekan bahaya penggunaan gawai bagi anak-anak. Akan tetapi, tampaknya semua upaya tersebut tidak berpengaruh signifikan. Alih-alih berkurang, terbukti bahwa kasus-kasus kekerasan dan kejahatan berbasis siber khususnya terhadap perempuan dan anak dari waktu ke waktu malah terus meningkat dan bentuknya pun kian beragam, bahkan mengerikan.Selain itu, pemerintah juga sudah mengeluarkan berbagai aturan umum maupun perangkat hukum untuk mengeliminasi kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Yang lebih mirisnya lagi maraknya kasus kejahatan atau kekerasan siber tidak disebabkan satu atau dua faktor saja, melainkan berkelindan satu sama lainnya. Itu sebabnya problem ini bersifat sistemis, yakni terkait penerapan sistem sekuler kapitalisme yang mengagungkan kebebasan dan menjauhkan agama dari pengaturan kehidupan. Alhasil, lahirlah aturan-aturan hidup yang rusak dan merusak, serta menjadikan negara atau penguasa gagal menyelesaikan problem hidup yang ada di tengah masyarakat. Bahkan, penguasanya nyaris tidak hadir, kecuali sebatas wacana dan gerakan artifisial.
Aturan hidup tersebut antara lain berupa penerapan sistem pendidikan sekuler yang melahirkan SDM yang lemah dalam hal akidah, akhlak, dan literasi digital. Mereka hidup tanpa visi, serta mudah terjerumus dalam perkara yang bertentangan dengan syariat dan merusak masa depan anak. Wajar jika para penjahat siber bebas melakukan kejahatannya tanpa bisa disentuh hukum. Terlebih bukan rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia juga sangat dipengaruhi undang-undang yang tidak jelas, mentalitas aparat penegak hukum yang masih bermasalah, perilaku masyarakat yang permisif dan individualistis, serta budaya yang kian liberal dan materialistis.
Hal ini adalah buah rendahnya literasi digital dan juga lemahnya iman akibat sistem Pendidikan yang berbasis sekuler. Namun sayangnya negara tidak memberikan perlindungan yang nyata. Apalagi arus digitalisasi ditengarai membawa banyak keuntungan materi, sehingga aspek keselamatan luput dari perhatian selama mendapatkan keuntungan inilah hasil penggunaan teknologi tanpa ilmu dan iman, satu konsekuensi dalam kehidupan sekuler kapitalisme.
Masyarakat saat ini sangat membutuhkan Solusi Islam. Islam adalah agama sempurna yang lahir dari Zat Yang Maha Sempurna. Aturan-aturannya datang sebagai problem solving bagi seluruh persoalan manusia, mulai dari masalah politik, ekonomi, pergaulan, pendidikan, hukum, hankam, dan lainnya. Negara dalam Islam tegak di atas akidah dan berfungsi sebagai pengurus dan penjaga. Fungsi ini bisa terealisasi dengan jalan konsisten menerapkan seluruh hukum Islam pada seluruh aspek kehidupan.
Negara Islam akan memberikan arahan pada pengembangan teknologi termasuk dunia siber. Juga panduan dalam memanfaatkan dan semua itu untuk menjaga kemuliaan manusia dan keselamatan dunia dan akhirat.
Negara juga wajib membangun sistem teknologi digital yang mandiri tanpa ketergantungan pada infrastruktur teknologi asing. Agar negara mampu mewujudkan informasi sehat bagi masyarakat, ruang siber syar’i dan bebas pornografi. Peran negara sebagai junnah (pelindung dan penjaga rakyat) sangat dibutuhkan, dan akan terwujud dengan tegaknya Khilafah. Penguasa juga tidak akan rela melihat rakyatnya rusak karena terpapar konten-konten beracun dengan jalan menerapkan sistem media massa yang berorientasi dakwah, serta sistem sanksi Islam yang tegas dan dipastikan akan mengeliminasi berbagai kejahatan, termasuk berbasis siber.
Negara juga akan menerapkan sistem ekonomi dan APBN Islam (baitulmal) yang akan menjamin kesejahteraan hakiki bagi orang per orang. Jaminan kesejahteraan ini akan menutup celah merebaknya berbagai bisnis berbasis siber yang berbahaya bagi rakyat, seperti bisnis pornografi yang dalam sistem sekarang justru menjadi shadow economy.
Negara juga akan menerapkan sistem pendidikan dan pergaulan yang berbasis akidah Islam dan bertujuan membentuk SDM yang berkepribadian Islam, serta siap menjadi generasi arsitek peradaban Islam cemerlang pada masa depan. Dengan demikian, berbagai kerusakan dan kejahatan berbasis siber akan tercegah sendirinya, yakni dengan munculnya individu-individu yang bertakwa, masyarakat yang bersih dan kental dengan tradisi amar makruf nahi mungkar, serta negara yang punya visi dunia-akhirat dan memfungsikan dirinya sebagaimana tuntutan syariat.
Negara Islam Khilafah bahkan menjadi support sistem utama dan terbaik bagi lahirnya individu dan masyarakat yang menjadi benih lahirnya generasi khairu ummah sebagaimana yang Allah Swt inginkan. Tiga lapis perlindungan ini dipastikan akan menjaga perempuan dan generasi, bahkan masyarakat secara keseluruhan untuk hidup aman, sejahtera, dan penuh keberkahan.
Kehidupan seperti itu bukanlah hanya ada dalam angan-angan, melainkan pernah terwujud dalam sejarah peradaban Islam. Selama belasan abad, umat Islam bangkit sebagai pionir sekaligus mercusuar peradaban, lantaran generasinya tumbuh sebagai generasi yang visioner, produktif, dan inovatif di bawah dorongan iman. Mereka paham tentang tujuan penciptaan manusia, yakni sebagai hamba sekaligus sebagai khalifah yang akan memakmurkan dunia. Mereka siap mengerahkan segenap hati dan pikiran, pengetahuan, dan keahlian untuk berkontribusi terbaik bagi kemuliaan Islam dan umatnya. Tidak heran jika saat dunia Barat bergelut dalam kegelapan, umat Islam justru terdepan dalam berbagai ilmu pengetahuan, inovasi, dan penemuan.
Saat ini, sebagian umat Islam tengah berikhtiar mengembalikan Khilafah. Meski banyak aral melintang, dipastikan Khilafah akan kembali hadir di tengah kehidupan yang akan datang. Khilafah inilah yang kelak akan mengubah wajah dunia yang penuh dengan kerusakan dan kezaliman menjadi dunia yang diliputi rahmat tersebab tegaknya syariat Islam.
Masalahnya adalah, kita tidak boleh diam menunggu ketetapan Allah yang pasti terjadi. Ini karena pilihan sikap kita sekarang harus siap dipertanggungjawabkan.
Wallahualam bishawab