| 7 Views

Perang Dagang AS-China dan Peluang Kebangkitan Islam

Oleh : Ainul Mizan
Peneliti LANSKAP

Perang dagang merupakan istilah yang menunjuk kepada konflik ekonomi antara 2 negara atau lebih dalam kaitannya dengan perdagangan internasional. Perang dagang menjadi sebuah upaya melindungi pasar dalam negerinya. Pasar dalam negeri dilihatnya tidak bisa mengimbangi serbuan arus barang yang masuk dari luar. Bentuk dari perang dagang melalui pembatasan kuota impor dengan menaikkan tarif impor serta mengurangi volume ekspor.

Sebagai contoh, Jepang mengekspor baja ke AS. Trump menaikkan tarif impor 50 persen dari sebelumnya 25 persen. Trump kuatir bila aliran dana akan ke Nippon Steel Corp termasuk aliran pekerja. Baja Jepang lebih keras, tajam dan tahan lama, mempunyai 68 HRC. Dibandingkan dengan baja dari US Steel Corp. Bajanya lebih lunak, kurang tajam dan tidak tahan lama dengan nilai 59 HRC. Artinya baja Jepang lebih diminati. Sedangkan baja China itu biayanya lebih murah 76 persen dibandingkan baja AS. Apalagi biaya produksi Tiongkok lebih murah. Maka China bisa mengekspor baja ke AS dengan harga yang lebih murah daripada harga baja dalam negeri Paman Sam sendiri.

Perang dagang antar negara, lebih-lebih AS vs China akan mempunyai dampak bagi dunia. Menaikkan biaya produksi, memicu inflasi, mengurangi pilihan barang di pasar, memperlambat pertumbuhan perekonomian, merusak hubungan diplomatik dan budaya serta menghambat perdagangan, ini merupakan dampak negatif perang dagang. Sedangkan dampak positifnya di antaranya adalah melindungi perusahaan dalam negeri dari persaingan tidak adil, meningkatkan permintaan terhadap barang-barang lokal, mendorong pertumbuhan tenaga kerja lokal, dan memperbaiki defisit perdagangan.

Perang dagang yang melibatkan 2 raksasa ekonomi dunia yakni AS dan China akan berdampak pada dunia. AS mengimpor kain tenun dari Indonesia. Di era perang dagang ini, AS mengenakan tarif impor rata-rata 32 persen untuk Indonesia. Akibatnya biaya produksi dalam negeri akan meningkat dan harga produk yang sama mengalami inflasi dalam negeri. Di AS sendiri, harga kain tenun mengalami kenaikan karena Indonesia mengurangi ekspor dan permintaan kain tenun di dunia mengalami penurunan. Dampaknya kelesuan ekonomi berupa melemahnya daya beli masyarakat. Ditambah pula akan berdampak pada industri tenun dalam negeri yang padat karya. Inilah yang bisa dipahami dari PT Sritex yang mengistirahatkan karyawan-karyawannya.

Ideologi Kapitalisme Memicu Perang Dagang

Ideologi Kapitalisme merupakan ideologi yang menjadikan perolehan sebanyak-banyaknya keuntungan materi sebagai bagian dari kebahagiaan manusia. Individu diberikan kebebasan mutlak. Bebas berkeyakinan dan berperilaku, bebas berpendapat, serta bebas berkepemilikan merupakan hal yang diagungkan dalam Kapitalisme. Tentu tidak mengherankan bila dalam konteks ekonomi dan perdagangan akan terjadi konflik dan persaingan para kapital di tingkat regional maupun global.

Artinya potensi terjadinya perang dagang di antara negara-negara Kapitalisme adalah sebuah keniscayaan. Masing-masing ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Sengketa antara Uni Eropa vs AS misalnya Airbus dengan Boeing. Perselisihan lama mengenai subsidi kepada produsen pesawat terbang berujung pada pengenaan tarif balasan oleh kedua belah pihak.

Persaingan dagang dan tarif dalam NAFTA (AS, Kanada dan Meksiko). AS sempat memberlakukan tarif baja dan aluminium terhadap Kanada dan Meksiko. Padahal ketiganya terlibat dalam perjanjian perdagangan bebas.

Selanjutnya perang dagang antara AS vs China sejak 2018 hingga saat ini. AS di bawah pemerintahan Donald Trump telah memberlakukan tarif impor 145 persen terhadap komoditas dari Tiongkok. Alasannya karena ada ketidakseimbangan perdagangan dan pencurian kekayaan intelektual. Sebagai contoh, China meluncurkan chatbot Ai bernama Deepseek sebagai tandingan ChatGPT AS.

Sementara China sendiri membalas dengan memberlakukan tarif impor bagi barang-barang AS sebesar 125 persen. Keduanya adalah negara Kapitalis. China sendiri menerapkan Kapitalisme untuk kebijakan ekonomi luar negerinya. Komunisme untuk kebijakan ekonomi dalam negerinya dengan kontrol yang ketat.

Demikianlah ideologi Kapitalisme telah mendorong terjadi persaingan antar negara kapitalis. Tujuan persaingannya untuk menguasai pasar ekspor, investasi asing, melakukan kontrol atas sumber daya dan teknologi, serta adanya keunggulan industri strategis.

Hanya saja ketika kepentingan nasionalnya berbenturan, negara kapitalis menggunakan instrumen proteksionismenya. Tarif impor, larangan ekspor dan melakukan subsidi dalam negeri menjadi instrumen proteksi atas kepentingan nasionalnya. Jadi ekonomi dan perdagangan bebas yang digembar-gemborkan akan tunduk pada kepentingan dalam negerinya.

Perang dagang AS vs China ini tidak sekedar pertarungan tarif. Lebih dari itu adalah persaingan geopolitik global antara kekuatan lama (AS) dan kekuatan baru (China). Ini menandai lahirnya era Multipolar. Tidak ada satu kekuatan adikuasa yang dominan melainkan melalui blok-blok kekuatan regional dan teknologi yang bersaing.

Paling tidak ada beberapa hal yang mengindikasikan hal tersebut, di antaranya adalah adanya pergeseran aliansi dan blok ekonomi. Negara-negara Afrika dan Amerika Latin memanfaatkan perang dagang ini untuk mencari keuntungan dengan lebih condong ke China melalui investasi OBOR China.

Kedua, kebangkitan dekoupling ekonomi. Negara-negara di dunia mulai mengurangi ketergantungan pada satu blok, misalnya relokasi pabrik dari China ke Vietnam, India atau Meksiko. Sementara itu AS sendiri mendorong konsep "friend shoring". Artinya AS hanya akan berbisnis dengan negara-negara yang menjadi sekutunya.

Perang dagang ini menunjukkan adanya ketergantungan negara yang satu dengan negara lainnya yang dipandang lebih kuat. Apalagi dollar AS masih mendominasi. Perang dagang ini pada dampak yang lebih parah bisa memukul semua sektor khususnya ekonomi dunia. Maka di sinilah potensi Islam bisa menjelma menjadi adidaya baru yang menawarkan kemandirian ekonomi. Umat Islam yang jumlahnya 1,5 milyar lebih akan menjadi pasar ekonomi yang besar. Umat Islam tidak perlu bergantung pada impor barang dari negara-negara penjajah seperti AS maupun China. Potensi dunia Islam begitu besar. Dunia Islam menguasai 72 persen cadangan minyak bumi dunia. Produksi bajanya mencapai 99 juta metrik ton per tahun. Produksi dagingnya mencapai 36,8 juta ton per tahun. Produksi gasnya mencapai 8,8 milyar barel per tahun. Produksi pangan mencapai 425 juta ton per tahun. Artinya umat Islam bisa menjelma menjadi adidaya baru yang mandiri mengalahkan AS maupun China termasuk Uni Eropa. Belum lagi potensi jumlah penduduk diambil 1 persen sebagai tentara maka didapatkan tentara aktif sebanyak 15 juta orang tentara.

Pandangan Islam Terkait Perang Dagang

Setiap bangsa, negara dan umat dalam melakukan perdagangan luar negeri sesuai dengan pemahamannya. Negara-negara Kapitalis seperti AS menjalankan perdagangan luar negeri berdasarkan asas manfaat dan politik dalam negerinya. Kadangkala AS melarang ekspor dan impor ke negara tertentu yang dipandang sebagai musuhnya. Kadangkala membolehkan ke negara lain. Dalam perang dagang AS-China ini, AS menempatkan China sebagai musuh hegemoni ekonominya.

Sedangkan China sebagai negara Komunis menggunakan asas keuntungan materi. Dalam hegemoni OBOR-nya, China memanfaatkan pasar bebas Kapitalis guna menancapkan pengaruhnya.

Adapun perdagangan luar negeri Islam hanya berdasarkan hukum Syara yang sudah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Jadi pola berpikirnya bukan menerima dan atau menolak perang dagang. Islam menggariskan sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya, bahwa perdagangan luar negeri berkaitan dengan orangnya yang memiliki atau membawa komoditas, bukan pada komoditasnya. Artinya hukum perdagangan luar negeri Islam itu mengikuti kewarganegaraan pelaku bisnisnya. Bukan pada komoditas maupun asal sumber komoditasnya.

Islam telah menetapkan bahwa dunia ini dibagi menjadi 2 yakni Darul Islam dan Darul Kufur. Sedangkan Darul Kufur dibagi lagi menjadi Kafir Harbi hukman dan kafir harbi fiklan.

Darul Kufur dalam interaksi perdagangannya dengan Darul Islam dibagi lagi menjadi Kafir Muahid dan Kafir fiklan. Maka hukum komoditasnya mengikuti hukum status kewarganegaraan pelaku bisnisnya.

Jika para pelaku bisnis berasal dari Kafir Muahid (yang mempunyai perjanjian), mereka boleh masuk ke wilayah darul Islam untuk berdagang dengan paspor khusus. Adapun tatkala mereka keluar dari wilayah Islam kembali ke negeri asalnya darul Kufur, maka ijinnya batal bagi dirinya dan komoditasnya bila ikut keluar juga. Bila komoditas dagangnya dititipkan ke muslim atau kafir Dzimmi, maka ijin untuk barangnya tidak hilang.

Seorang kafir Muahid masuk membawa komoditasnya ke wilayah Islam bisa dikenakan bea masuk sebesar 1/10 dari harga semua komoditasnya. Hal ini sebagai perlakuan yang sama besar dengan yang ditariknya dari pelaku bisnis muslim atau kafir Dzimmi yang masuk ke negeri mereka. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra.

Bahkan tarif masuk komoditas dari kafir Muahid ini bisa sama besar yang ditarik dari komoditas warga Darul Islam yang masuk ke negeri mereka. Bisa juga lebih kecil dan ataupun tidak dikenakan tarif masuk sama sekali. Tentunya ini berkaitan dengan kebijakan Khalifah sesuai dengan kemaslahatan umat.

Berkaitan dengan warga Khilafah baik muslim maupun ahlud dzimmah, maka komoditas mereka baik keluar maupun masuk dikenakan tarif 1/40 untuk yang muslim. Ini adalah zakat. Sedangkan ditarik dari Kafir Dzimmi sebesar 1/20 itu sesuai dengan naskah perjanjian dzimmahnya yakni membayar jizyah. Artinya bisa disesuaikan dengan naskah perjanjiannya.

Inilah aturan Islam dalam perdagangan luar negeri. Tidak ada tujuan untuk menjajah dan menjatuhkan perekonomian negara lain. Jadi pengaturan perdagangan luar negeri dalam Islam semata-mata berdasarkan hukum Syara'. Dan ketika mendasarkan pada hukum Syara', akan tercipta keadilan.

Pengaturan Islam terhadap komoditas yang dilarang untuk keluar dari wilayah Islam adalah komoditas-komoditas yang bisa memperkuat musuh untuk memerangi kaum muslimin seperti persenjataan. Adapun komoditas yang lain seperti hasil pertanian, perikanan dan lainnya boleh untuk dibawa keluar bila kebutuhan di dalam negeri sudah terpenuhi. Jika komoditas itu terbatas misalnya karena ada musim paceklik, maka komoditas yang dibutuhkan dalam negeri tidak diperbolehkan untuk dibawa keluar dari wilayah Islam.

Perlakuan terhadap negara kafir harbi fiklan (yang terlibat perang secara defacto dengan kaum muslimin), maka tidak ada hubungan perdagangan dengan mereka. Pengiriman ekspor bahan makanan misalnya ke Israel, hukumnya haram. Karena makanan tersebut akan bisa memperkuat pasukan Israel untuk membantai kaum muslimin di Gaza, Palestina. Di samping Israel termasuk AS notabenenya adalah negara kafir fiklan. Hubungan dengan keduanya adalah perang.

Dengan begitu bisa dipahami bahwa Khilafah akan membangun pasar ekonominya secara mandiri. Khilafah tidak akan bergantung kepada impor barang dari negara lain apalagi kafir harbi fiklan seperti AS, China dan Israel. Semua sumber daya alam dan manusia akan dikerahkan Khalifah untuk menjelma menjadi raksasa ekonomi baru yang kuat dan mandiri.

Berikutnya, dalam perdagangan internasional. Khilafah akan menggunakan emas dan perak sebagai landasan dalam melakukan kegiatan ekonomi dan mata uang. Kestabilan nilai emas dan perak akan menjadikan stabil nilai pertukaran mata uang dunia. Dengan begitu, kepercayaan masyarakat dunia terhadap dollar AS akan mudah luntur dan digantikan dengan dominasi Dinar dan dirham. Artinya dengan reputasi internasionalnya, Khilafah akan mampu mempengaruhi politik internasional sesuai dengan arahan Islam.

Tujuan Perdagangan Luar Negeri dalam Islam

Khilafah atau Darul Islam melakukan perdagangan luar negeri untuk mendapatkan mata uang negara lain yang dominan. Misalnya Khilafah ingin mendapatkan mata uang dollar. Dengan mendapatkan mata uang dollar AS misalnya, Khilafah akan bisa membeli produk-produk teknologi dan lainnya, termasuk menggaji ahli alutsista luar negeri. Semuanya dilakukan untuk melakukan Revolusi Industri.

Industri yang dibangun Khilafah adalah berbasis perang dan peralatan. Maka tentunya tidak mengherankan bila banyak warga Negera yang secara mandiri bisa memproduksi persenjataan yang dibutuhkan untuk melakukan jihad.

Di samping itu, dengan melakukan perdagangan luar negeri, Khilafah akan memperkenalkan pada dunia mata uang standar emas dan perak. Dengan reputasi emas dan perak yang stabil, akan bisa menjaga stabilitas harga pasar. Tentunya ini akan menaikkan reputasi Khilafah sebagai negara yang bereputasi internasional.


Share this article via

5 Shares

0 Comment