| 235 Views

Pajak Tak Bisa Sejahterakan Warga Bandung

Oleh : Ariefdhianty Vibie
Pegiat Literasi, Bandung

DPRD Kota Bandung setujui Raperda Perubahan APBD TA 2024. Dalam rapat Paripurna DPRD, Penjabat Wali Kota Bandung, A. Koswara, menyampaikan perihal Rancangan Perubahan APBD 2024 dan APBD 2025 disusun dengan mengacu pada Rencana Pembangunan Daerah (RPD) Tahun Anggaran 2024-2026 yang berfokus pada peningkatan pelayanan publik dan pembangunan kota (laman resmi pemerintah Kota Bandung, 30/09/2024). Dalam APBD Tahun 2024 semula direncanakan sebesar Rp7,302 triliun mengalami penambahan sebesar Rp130 miliar sehingga menjadi 7,432 triliun (laman resmi DPRD Kota Bandung, 27/09/2024). Perubahan ini mencakup peningkatan anggaran untuk mendukung kualitas pelayanan publik, penguatan daya saing sumber daya manusia, serta komitmen dalam meningkatkan sektor pendidikan dan kesehatan di Kota Bandung.

Dalam hal pendapatan daerah, Pemkot Bandung berkomitmen untuk mencapai target pendapatan yang telah ditetapkan. Lebih lanjut, Pemkot Bandung akan melakukan intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi sumber-sumber pendapatan daerah, termasuk optimalisasi pajak dan retribusi daerah. Salah satunya dengan memanfaatkan teknologi informasi dalam pemungutan pajak, salah satunya melalui alat pencatat transaksi yang dapat mengurangi kebocoran pendapatan (laman resmi pemerintah kota Bandung, 30/09/2024).

Anggaran tinggi ini sebenarnya sudah dari tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi, peningkatan mutu pelayanan terhadap kehidupan masyarakat Kota Bandung dinilai masih rendah. Warga Bandung tidak merasakan kemudahan dan perbaikan di berbagai sektor. Warga Bandung pun masih berlangganan berbagai masalah.

Masalah-masalah yang kerap terjadi seperti tidak pernah ada solusi yang dijalankan. Seperti kemacetan, misalnya, kebijakan yang berkaitan dengan publik transportasi selalu terbentur dengan banyak pihak yang menentang. Premanisme dan kriminalitas hampir setiap jam terjadi di berbagai sudut wilayah. Begitu pula dengan masalah banjir yang biasa terjadi di musim penghujan, tidak pernah ada penyelesaian secara tuntas. Belum lagi masalah kemiskinan, urbanisasi, mahalnya pendidikan, pengelolaan sampah, keamanan, pengangguran, dan pembangunan. Jadi, kemana perginya pendapatan daerah yang bersumber dari rakyat tersebut?

Bertambahnya anggaran tidak menjamin segala persoalan akan bisa selesai, bahkan hasilnya akan tetap jauh dari harapan.

Segala persoalan ini jika ditelisik lebih mendalam, maka akan ditemukan sejumlah poin. Pertama, anggaran pendapatan dan belanja daerah tidak didasarkan pada kebutuhan individu per individu masyarakat, hanya diambil berdasarkan permasalahan kolektif. Ini telah disebutkan oleh Pj Walikota Bandung, bahwa APBD akan lebih memfokuskan pada kualitas pelayanan publik, penguatan daya saing sumber daya manusia, serta sektor pendidikan dan kesehatan. Padahal permasalahan paling mendasar adalah tidak terpenuhinya kebutuhan pokok individu yang ketika tidak dipenuhi oleh negara akan menimbulkan masalah besar, seperti pangan, sandang, dan papan, lapangan pekerjaan, akses kesehatan, keamanan, dan pendidikan.

Kedua, anggaran pendapatan Kota Bandung sebagian besar didapat dari optimalisasi pajak dan retribusi daerah. Pemerintah Kota Bandung seharusnya melakukan evaluasi besar-besaran. Penambahan anggaran belanja negara sejumlah Rp 130 miliar tersebut bukanlah jumlah yang kecil. Apalagi pendapatan asli daerah Kota Bandung bersumber dari optimalisasi pajak dan retribusi daerah, artinya pendapatan Kota Bandung murni berasal dari masyarakat dan pelaku usaha. Masyarakat yang ditekan untuk senantiasa membayar pajak, padahal masyarakat pun sedang kesulitan. Walhasil, masyarakat lagi yang menjadi korban.

Dalam Islam, pengurusan terkait kemaslahatan masyarakat, dengan tegas disampaikan oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka dan kemiskinan mereka, Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya, dan kemiskinannya.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).

Islam memandang pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan sebagai kebutuhan asasi setiap insan. Pada saat yang sama, Islam memandang negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam mewujudkan kemaslahatan setiap individu masyarakat. Perkara ini tidak boleh dilalaikan sedikit pun.

Oleh karenanya, penganggaran haruslah berlangsung di atas sejumlah prinsip sahih yang meniscayakan terwujudnya kemaslahatan setiap individu publik. Selain itu, pajak dalam  Islam bukanlah sumber pemasukan utama, bahkan seharusnya negara akan sangat jarang menggunakan pajak sebagai sumber pendapatan.

Peningkatan pemasukan pajak sejatinya memperlihatkan kepada kita akan kesengsaraan rakyat yang juga makin besar. Kesejahteraan rakyat tidak akan mungkin terwujud selama pajak menjadi sumber utama pendapatan negara atau daerah. Untuk itu, berharap sejahtera dalam sistem demokrasi kapitalisme adalah suatu hal yang mustahil dan tidak pernah akan terwujud.

Sudah seharusnya kita membuang jauh sistem kapitalisme, dan merangkul sistem Islam kaffah yang langsung datang dari Allah swt.

Wallahu’alam bishowab


Share this article via

46 Shares

0 Comment