| 325 Views

Nasib Buruh, Antara Harapan dan Realita

Oleh : Sumarni
Pegiat Literasi

Tentu masih segar dibenak kita ketika ratusan buruh dari berbagai serikat pekerja menggelar aksi damai di Bundaran Karang Anyar, Balikpapan Tengah, tepatnya di pintu masuk proyek kilang Pertamina, pada 1/5/2024 lalu. Dimana para buruh menuntut kenaikan upah bagi mereka. Berbagai tuntunan ini lahir dari status Indonesia yang menjadi upper-middle income countries atau kelompok negara menengah ke atas. Sebagai negara berpenghasilan menengah, harusnya memiliki penghasilan US$4.500 atau setara Rp5,6 juta/bulan. Jakarta saat ini baru memiliki penghasilan Rp4,9 juta/bulan. Masih kurang Rp700 ribu untuk menjadi negara menengah ke atas. Itulah yang dituntut kaum buruh, yakni kenaikan upah 15% atau senilai Rp700 ribu.

Alih-alih mau menaikkan gaji sesuai tuntutan buruh, pemerintah justru menekan agar upah minimum provinsi (UMP) tak naik. Bayangkan, pemerintah malah memberikan instruksi untuk menekan naiknya UMP.  Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan, meminta pemerintah daerah untuk berhati-hati dalam menetapkan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Menurutnya, penetapan upah itu rawan menjadi kebijakan populis ( Tirto.id, 7/11/2024). Ia juga menyebut upah minimum provinsi yang terlalu tinggi atau tidak rasional berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Mustahil Buruh Sejahtera dalam Kapitalisme

Kondisi yang kini menimpa pada buruh, sejatinya lahir dari sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Sistem yang tegak atas asas sekuler ini menjadikan pengusaha pengendali atas kehidupan ini. Tuntutan kenaikan upah yang cukup besar merupakan sesuatu yang mustahil bagi buruh saat ini. Dunia kapitalisme menyebabkan si kaya akan berkuasa atas si miskin. Ini karena seluruh regulasi tentang pekerja nyatanya memang dibuat untuk menguntungkan pengusaha. UU Omnibus Law, misalnya, sangat merugikan para pekerja dan hanya menguntungkan pengusaha.

Pernyataan Menteri Tenaga Kerja soal kenaikan upah buruh hanya Rp70 ribu itu memang terlihat di luar nalar. Aturan itu seakan tidak melihat kondisi inflasi saat ini. Semua kebutuhan hidup naik, sedangkan upah yang naik tidak sampai Rp100 ribu . Mirisnya, persetujuan kenaikan upah sesuai tuntutan dapat diramalkan akan berjalan alot, bahkan bisa langsung ditolak karena pihak pengusaha jelas akan menolak. Mereka adalah para kapitalis yang inginnya mengeluarkan biaya sekecil mungkin untuk laba sebesar-besarnya. Kenaikan upah akan memperbesar pengeluaran dan memberatkan proses produksi.

Alhasil tuntunan buruh agar dinaikkan upahnya itu tidak akan mungkin, karena  Kenaikan Upah buruh tahun 2025 sangat  kecil, dan tidak sepadan dengan kenaikan pajak tahun 2025. Upah Buruh masih terhitung rendah untuk mencukupi kebutuhan hidup saat ini yang serba mahal. Apalagi dengan adanya ketentuan upah minimum.

Dalam sistem kapitalis, buruh dianggap sebagai faktor produksi sehingga dibuat upahnya seminimal mungkin demi mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Konsep upah dalam kapitalisme membuat buruh hidup dalam keadaan pas-pasan karena gaji mereka disesuaikan dengan standar hidup minimum tempat mereka bekerja. Kondisi ini sesuai dengan regulasi yang ada dalam  kapitalisme, yang meniscayakan berpihak pada pengusaha dan merugikan buruh . Buruh bahkan tidak memiliki posisi tawar tinggi.

Nasib kesejahteraan buruh pun ada di tangan perusahaan. Dengan prinsip ekonominya yang terkenal "modal sekecil-kecilnya, untung sebesar-besarnya", maka wajar buruh diupah murah sehingga mustahil untuk sejahtera. Banyak kasus bahkan ditemukan, perusahaan tidak memberikan hak buruh, memberi upah tidak sesuai UMR, tidak memberi THR, mudah memecat buruh, dan lainnya. Akibatnya buruh terjepit dalam ketakberdayaan. Jika bekerja, upah tidak menyejahterakan sedangkan beban kerja amat berat. Adapun jika keluar dari kerjaan, sulit untuk mendapatkan pekerjaan lagi. Maka dari itu, kesejahteraan hanyalah ilusi bagi para buruh dalam sistem kapitalisme ini.

Islam Solusi Tuntas Masalah Perburuhan

Persoalan buruh seperti hari ini tidak akan muncul dalam sistem Islam, karena negara memjamin kesejahteraan mereka. Soal buruh nanti hanya akan bersifat personal/kasuistik . Islam sebagai sistem kehidupan yang sempurna memiliki pandangan yang khas. Dalam Islam pekerja akan mendapatkan upah yang pantas sesuai pekerjaannya. Antara pekerja dan pemberi kerja akan bersepakat (akad) mengenai upah, waktu kerja, jenis pekerjaan, dll. Dengan begitu semuanya saling rela dan berjalan dengan adil. Buruh juga  dibayar sesuai dengan kerja yang ia berikan berdasarkan kesepakatan. Jika terjadi perselisiham ada khubara yang menentukan besarnya upah. Islam juga menyamakan posisi Buruh dan pengusaha, karena buruh juga manusia yang berhak hidup layak

Negara dengan sistem Islam mengangkat khubara sebagai orang yang paham tentang pengupahan. Dengan begitu, antara pekerja dan pemberi kerja tidak ada yang terzalimi. Selain itu, negara memberikan jaminan sandang, pangan, papan, pendidikan, keamanan dan kesehatan. Negara menjamin seluruh kebutuhan tersebut sehingga rakyat tidak akan merasakan beban hidup yang berat. Fakir miskin akan mendapatkan bantuan zakat sampai mereka keluar dari kemiskinan.

Terkait upah, Islam menentukan upah dalam akad kerja berdasarkan rida antara kedua belah pihak (antaradhin). Islam juga memiliki standar upah yang ditentukan oleh para ahli (khubara) sesuai manfaat yang diberikan oleh pekerja, lama bekerja, jenis pekerjaan, risiko, dan lainnya. Dengan demikian, bisa dipastikan tiap-tiap pihak merasa senang. Buruh senang karena mendapatkan upah secara makruf, perusahaan juga senang karena mendapatkan manfaat yang baik dari karyawannya.

Jadi, selama masyarakat masih berada dalam sistem kapitalisme, para pekerja tidak akan mendapatkan keadilan dalam upah/gaji. Tenaga mereka akan terus diperas tanpa diberi upah sepadan. Jalan satu-satunya agar para pekerja mendapatkan keadilan adalah dengan menerapkan aturan Islam yang akan mampu mensejahterakan para buruh.

Wallahu a'lam.


Share this article via

65 Shares

0 Comment