| 365 Views

Moderasi Beragama, Yakin Menyolusi Problem Generasi?

Oleh : Mustika Lestari, S.Pd
Pemerhati Masalah Generasi

Di tengah menguatnya arus moderasi yang menyasar umat Islam, generasi pun tidak luput dari bidikan sejumlah pihak, utamanya para pendukung ide tersebut. Seperti Ibu Iriana Joko Widodo (Jokowi) bersama Ibu Wury Ma’ruf Amin, menggaungkan moderasi beragama kepada kalangan pelajar di Balikpapan, kalimantan Timur. Kegiatan tersebut turut hadir para istri menteri yang tergabung dalam Organisasi Aksi Solidaritas Era (OASE) Kabinet Indonesia Maju (KIM).

Dalam kegiatan ‘Sosialisasi Moderat Sejak Dini’ ini mengangkat tema “Cinta Tuhan dengan Mencintai Indonesia,” diikuti 500 pelajar lintas agama dari madrasah aliyah dan SMA se-Kota Balikpapan yang bernaung di bawah Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Istri Menteri Agama Yaqut Chalil Qoumas, Eny Retno Yaqut dalam sambutannya mengatakan, kegiatan ini sengaja menyasar kalangan pelajar sebagai upaya menanamkan nilai-nilai moderasi beragama sejak dini. Harapannya akan membentuk para pelajar yang cinta damai dan toleran (republika.co.id, 11/9/2024).

Sejujurnya moderasi beragama telah diaruskan sejak beberapa tahun terakhir, baik melalui seminar-seminar, termasuk di dunia pendidikan seperti sekolah, kampus, bahkan di pesantren-pesantren, menyisipkan penguatan ide moderasi. Konon, ada yang menilai bahwa agama menjadi salah satu penyebab terjadinya pertikaian dan ketidakadilan, sehingga moderasi dalam beragama menjadi penting guna mewujudkan iklim masyarakat yang cinta damai dan toleran.

Dengan kacamata iman, jelas pandangan semacam ini tidak dapat dibenarkan. Mengambil Islam setengah-setengah, kompromitif dengan ide-ide di luar Islam dengan dalih demi perdamaian dan toleransi. Padahal, agama Islam telah sempurna mengatur umat ini tanpa perlu mengubah dan mengurangi apa saja yang telah ditetapkan syariat.

Jika mengaitkan persoalan yang membelit generasi dengan keharusan mereka memiliki sudut pandang yang moderat, agaknya jauh dari solusi. Pada faktanya, problem pelajar yang notabenenya adalah remaja lekat dengan perilaku amoral seperti narkoba, seks bebas, mental illness, bullying, menjadi pelaku kejahatan hingga pembunuhan, aborsi, penyuka sesama, dan aneka kejahatan lainnya. Terkesan “salah alamat” atau sangat jauh dari akar persoalan apabila menguatkan moderasi beragama di kalangan generasi sebagai jalan keluar.

Lagi pula, merebaknya dekadensi moral remaja di tengah masyarakat, bukan karena mereka sangat erat memegang aturan agamanya, sebaliknya teramat jauhnya mereka dalam memahami aturan Islam atas seluruh aspek kehidupannya. Ketika kadar agamanya seadanya, mereka hidup bebas, imannya terlanjur lemah, perilaku amoral justru semakin menjadi.

Ide Barat yaitu moderasi beragama menempatkan hukum buatan manusia lebih tinggi di atas aturan sang Pencipta, Allah SWT. Maka yang terjadi adalah pelajar menerima dan menjalankan seluruh ide yang menjadi biang kerok kerusakan generasi dalam berbagai bentuk. Bukannya menjadi solusi, justru merawat aneka problematika generasi yang tidak pernah ada habisnya.

Dugaan kuat bahwa paham moderasi beragama yang digaungkan di lingkungan pendidikan bukan untuk menuntaskan berbagai krisis di kalangan pelajar, melainkan menangkal radikalisme yang dipandang sebagai musuh ideologi yang sedang eksis saat ini, yaitu Kapitalisme. Agaknya, bukan karena peduli terhadap nasib pelajar di masa mendatang, melainkan ketakutan akan kembalinya generasi muslim kepada identitas Islamnya yang benar.

Islam moderat adalah cara pandang Barat yang dikehendakinya untuk menjerumuskan umat Islam kepada pemikiran yang tidak pernah ada dalam ajaran Islam, misalnya sekularisme, liberalisme, kapitalisme, dan turunan-turunannya. Ketika pemahaman generasi  kering akan nilai-nilai Islam, akibatnya semakin berani melakukan kejahatan, bahkan secara terang-terangan. Jika demikian, adalah salah besar jika menghendaki pengarusan moderasi beragama dalam rangka menyolusi berbagai krisis yang membelit generasi, justru terkesan memfasilitasi generasi untuk melakukan kejahatan tanpa takut kepada penciptanya.

Sungguh, generasi negeri ini adalah tumpuan masa depan agama dan peradaban, dalam hal ini peradaban Islam. Untuk membentuk anak-anak yang shalih-shalihah, jauh dari aktivitas maksiat, tentu saja tidak dengan membentuk mereka menjadi generasi yang pas-pasan pemahaman Islamnya, melainkan wajib berpegang teguh pada ajaran Islam secara sempurna, baik melalui pendidikan formal, maupun seluruh lingkup kehidupan.

Umat yang sadar akan masa depannya, tentu tidak mudah terperdaya dengan pemikiran-pemikiran yang menyesatkan. Semua pihak harus bersinergi berjuang agar generasi muslim ini mendapatkan pendidikan terbaik sesuai fitrahnya, dan menolak pemikiran moderasi beragama yang jelas-jelas menjadi biang masalah, sebab menjauhkan mereka dari pencipta-Nya.

Wallahu a’lam bi showwab.


Share this article via

102 Shares

0 Comment