| 120 Views
Mahasiswa Menolak PPN yang Menyengsarakan Rakyat

Oleh : Adawiyah
Rakyat yang sejatinya mendapatkan hak dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, namun kini hanyalah sebagai angan-angan semata. Alih-alih mendapatkannya secara percuma atau diskon, rakyat dibebankan dengan penambahan nilai pada barang dan jasa dengan pajak 12%. Kebijakan ini diumumkan sebagai bagian dari upaya memperkuat penerimaan negara, namun menuai banyak reaksi dari berbagai kalangan. Peningkatan tarif PPN ini dinilai dapat menjadi beban tambahan bagi masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi.
Pemerintah menyatakan bahwa kenaikan PPN diperlukan untuk memperluas basis penerimaan pajak. Penerimaan pajak yang lebih besar diharapkan mampu mendanai pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Adapun kelompok penentang, termasuk pengamat ekonomi dan organisasi masyarakat, menilai kebijakan ini kurang tepat sasaran. Mereka menyarankan agar pemerintah fokus pada penegakan hukum pajak dan memperluas basis pajak, daripada meningkatkan beban bagi konsumen.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 telah memicu gelombang protes di berbagai wilayah, terutama dari kalangan mahasiswa. Kebijakan ini, yang menurut pemerintah merupakan langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan negara, justru mendapat kritik tajam dari generasi muda.
Sebagai penerus bangsa, mahasiswa tidak hanya memandang dampak langsung dari kebijakan tersebut, tetapi juga konsekuensi jangka panjangnya terhadap masyarakat luas. Peningkatan kualitas pendidikan, infrastruktur kesehatan, dan sektor produktif harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan negara, tanpa harus membebani rakyat dengan pajak yang semakin tinggi. Oleh karena itu, mahasiswa meminta agar pemerintah lebih berpihak pada rakyat kecil dan mempertimbangkan kebijakan yang lebih inklusif, yang dapat memberi manfaat jangka panjang bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir kelompok.
Penolakan kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) 12% disuarakan oleh berbagai kalangan. Sebuah pertanda yang jelas bahwa kenaikan pajak tersebut sangat dipaksakan, memberatkan rakyat, dan zhalim. Sementara itu Tax Amnesty (Pengampunan Pajak) untuk para penguasa menengah atas sedang direncanakan Kembali. Disamping berbagai kemudahan lainnya yang sudah lama diberikan untuk mempermudah dunia usaha.
Seharusnya pajak dibebankan kepada para pengusaha, tetapi malah dibebankan kepada rakyat. Ini jelas termasuk pada maks (pungutan yang memaksa dan memberatkan) yang haram.
Negara wajib mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yakni harta milik umum secara penuh, tidak boleh diserahkan kepada asing atau swasta. Hasil pengelolaannya wajib dikembalikan negara kepada rakyat dalam rangka memberikan pelayanan yang akan memudahkan hidup rakyat, membangun berbagai fasilitas umum untuk kesejahteraan rakyat.
Sumber utama pemasukan negara dalam Islam ada tiga jenis, yakni dari harta milik umum, harta milik negara dan harta zakat. Pos pengeluarannya pun ditetapkan oleh syariat untuk meraih kesejahteraan rakyat dan mengemban dakwah Islam.
Sistem ekonomi Islam, menempatkan dharibah (pajak) sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara. Itu pun hanya dikenakan dalam kondisi tertentu saja yaitu ketika Baitul Mal (kas negara) dalam keadaan kosong, pungutan tersebut hanya dikenakan pada individu tertentu sesuai dengan dana yang dibutuhkan. Maka kesejahteraan rakyat, individu per individu akan terjamin dengan penerapan sistem Islam yang menyeluruh (kaffah) dalam segala aspek kehidupan.
Wallahu a'lam bisshawab