| 21 Views

Luka yang Berulang: Saat Negara Gagal Lindungi Perempuan dan Anak

Oleh : Atiqoh Shamila

Di penghujung Mei 2025 ini, Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Dinsos P3AKB) Kabupaten Bondowoso, mendata 12 kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur, kekerasan seksual sangat mendominasi. Dan terdapat 5 kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Mirisnya, pelaku kekerasan terhadap anak dan perempuan adalah orang-orang terdekat korban (LENSANUSANTARA, 28/05/2025)

Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah (Dinsos), diantaranya melaksanakan rapat koordinasi dengan Polres Unit PPA, Kejaksaan Negeri dan melibatkan lembaga terkait lainnya. Selain itu, membentuk tim Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) hingga tingkat kecamatan. Dinsos pun memiliki Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) PPA, sebagai wadah pelaporan bagi warga Bondowoso  yang merasa menjadi korban kekerasan atau kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak.

Dinsos P3AKB hanya fokus dalam hal pencegahan, perlindungan dan pendampingan korban kekerasan dan pendampingan bagi pelaku kekerasan yang di bawah umur. Hal ini seakan menegaskan posisi pemerintah sekedar mencegah dan medampingi korban, bukan menyelesaikan kasus kekerasan hingga ke akarnya, misal dengan menindak pelaku dengan hukuman yang menjerakan dan meniadakan semua peluang terjadinya kekerasan pada perempuan dan anak. Itulah mengapa kasus kekerasan pada perempuan dan anak tidak pernah tuntas, walaupun berbagai upaya pencegahan telah dilakukan, bahkan telah membangun sinergi dengan berbagai lembaga terkait, namun angka kekerasan pada perempuan dan anak ini tidak menunjukkan penurunan yang signifikan.

Jika dicermati lebih dalam, penyebab kasus ini sangatlah  kompleks atau dengan kata lain bersifat sistemik. Sistem kehidupan yang memisahkan agama dan kehidupan telah menumbuhsuburkan kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Sistem kapitalisme sekuler yang dianut negeri ini mengabaikan nilai-nilai perlindungan keluarga dan masyarakat, hanya fokus pada asas manfaat semata. Liberalisme (kebebasan individu) yang sepaket dengan kapitalisme telah melahirkan budaya permisif, pornografi, seks bebas dan konsumerisme. Muaranya adalah rapuhnya institusi keluarga, fungsi kontrol keluarga hilang karena orang tua sibuk bekerja. Dalam sistem ekonomi kapitalis, masyarakat dieksploitasi untuk menghasilkan materi sebanyak-banyaknya sehingga nilai-nilai perlindungan, pengawasan dan pembinaan terhadap anggota keluarga menjadi lemah.

Di samping itu, sistem pendidikan kapitalisme juga mengabaikan nilai-nilai ilahiyah. Akibatnya, muncullah generasi-generasi yang lemah pemahaman agamanya dan rendah ketaatannya walaupun secara akademis unggul. Rapuhnya pondasi keimanan telah membuka pintu lebar-lebar masuknya budaya yang kian menjauhkan individu dari norma agama. Gaya hidup hedonistik, individualisme, permisivisme, dan kebebasan tanpa batas merasuk kuat melalui media, hiburan, hingga lingkungan pergaulan. Semua itu diterima tanpa filter karena tidak adanya bekal akidah yang kuat sebagai tameng. Tanpa kesadaran akan tujuan hidup sebagai hamba Allah, generasi ini mudah terseret arus sekularisme dan liberalisme yang bertentangan dengan fitrah manusia.

Tidak adanya sanksi tegas terhadap pelaku kekerasan pada perempuan dan anak telah memberi ruang terulangnya kejahatan serupa di masa yang akan datang. Hukum buatan manusia yang berasaskan manfaat dan kompromi kepentingan telah gagal menimbulkan efek jera. Buktinya, banyak kasus berulang dengan modus operandi berbeda yang esensinya sama, yaitu kekerasan pada perempuan dan anak. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya daya cegah dan daya tangkal sistem hukum sekuler saat ini. Ketika hukuman tidak menggiring pelakunya pada keinsafan dan perlindungan korban tidak menjadi prioritas utama maka keadilan terasa jauh panggang dari api. Penegakan hukum yang transaksional tidak akan menjamin rasa aman pada perempuan dan anak yang rentan jadi korban.

Lebih dari itu, lembaga-lembaga yang menangani persoalan ini berjalan parsial, sektoral, dan kerap kali tumpang tindih. Tidak ada satu visi negara yang menyatukan seluruh elemen – dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga perlindungan korban, hingga lembaga rehabilitasi pelaku – dalam satu sistem terpadu. Akibatnya, penanganan menjadi lamban, tidak efisien, dan sering kali menyisakan luka mendalam bagi korban. Ketika negara hanya bertindak sebagai fasilitator, bukan sebagai pelindung dan pengayom secara utuh, maka kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi masalah struktural yang tak kunjung selesai.

Lebih mengkhawatirkan lagi, pendekatan yang digunakan selama ini lebih bersifat administratif dan prosedural. Hanya fokus pada akibat, bukan akar masalah. Padahal, kekerasan terhadap perempuan dan anak tak bisa dipisahkan dari krisis moral dan spiritual yang melanda masyarakat. Tanpa adanya pembinaan akhlak yang kuat, dan tanpa pondasi keimanan yang menjadi rem perilaku manusia, maka segala bentuk regulasi tak mampu mengubah realitas sosial.

Islam Sistem yang Komprehensif

Dalam Islam keluarga adalah wadah utama untuk membentuk karakter dan kepribadian Islam. Oleh karena itu orang tua diberi tugas mulia untuk menanamkan sejak dini nilai-nilai tauhid, adab dan keterikatan terhadap hukum syara’. Dengan membangun keluarga yang kokoh diatas pondasi akidah, tidak hanya akan melahirkan generasi yang kuat imannya tapi juga akan terbentuk pribadi yang patuh dan taat pada aturan ilahi.

Sistem sosial Islam menjadikan masyarakat sebagai kontrol sosial dalam menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar. Ketika terjadi kemunkaran di ruang publik maka masyarakat yang notabene mempunyai pemikiran dan perasaan yang sama ini akan menjadi kontrol sosial yang efektif dalam mencegah terjadinya perbuatan yang melanggar rambu-rambu agama.

Sistem pendidikan dalam Islam berbasis akidah, sistem pendidikan ini menjadi salah satu pilar penegak peradaban. Dari sistem pendidikan inilah akan muncul pribadi-pribadi yang solih, bukan sekedar keterampilan kerja. Pendidikan dalam Islam diarahkan untuk mencetak generasi yang memiliki kesadaran penuh sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara moral dan memiliki orientasi hidup yang benar serta selalu mengikatkan perbuatannya dengan hukum syara’.

Di samping itu, sistem hukum Islam sangat tegas dan tidak diskriminatif, penegakan keadilan tidak hanya bertujuan memberi efek jera bagi pelaku kejahatan, tetapi juga menjaga stabilitas masyarakat dan mencegah terulangnya tindak kriminal. Sanksi-sanksi dalam hukum Islam dirancang secara proporsional, adil, dan sesuai dengan jenis pelanggaran, mulai dari hudud, qishash, hingga ta'zir. Penerapan sanksi ini dilakukan setelah proses pembuktian yang ketat dan memenuhi syarat-syarat syar'i, sehingga tidak sewenang-wenang. Dengan pendekatan ini, hukum Islam menumbuhkan rasa aman, menegakkan keadilan sejati, dan menjadi benteng pencegah yang efektif bagi kerusakan sosial.

Khatimah

Sudah saatnya kita kembali pada Islam. Sistem yang menjamin keberlangsungan hidup manusia karena sistem hukum dan sosialnya menyentuh akar persoalan secara komprehensif. Sistem yang tak hanya memberi efek jera bagi pelaku, tetapi juga membentuk karakter yang berkepribadian Islam.. Sebab kejahatan bukan hanya soal tindakan, tapi juga soal cara pandang tentang kehidupan, bagaimana bersikap terhadap perempuan, terhadap anak, dan tentang tanggung jawab sebagai hamba Allah. Tanpa perubahan yang mendasar,  kekerasan terhadap perempuan dan anak akan terus menjadi tragedi berulang di tengah masyarakat kita.


Share this article via

14 Shares

0 Comment