| 16 Views

Komersialisasi Pendidikan Mustahil Cerdaskan Anak Bangsa

Oleh : Elly Waluyo
Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam

Komersialisasi dalam segala aspek kehidupan terjadi di sistem kapitalisme dan merupakan suatu keniscayaan karena berlandaskan materi. Segala aspek dihitung berdasarkan untung dan rugi. Peran pemerintah bukanlah pelayan umat melainkan regulator untuk memuluskan kepentingan oligarki, penguasa sesungguhnya yang bergerak mengatur di balik layar pemerintahan negara bersistem kapitalisme.

Aspek pendidikan merupakan salah satu yang harus menerima dampak dari komoditas tersebut. Alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, sistem kapitalisme justru memerosotkan jenjang pendidikan yang seharusnya dienyam oleh rakyatnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024 telah mengungkap bahwa lamanya pendidikan yang mampu ditempuh oleh penduduk Indonesia rata-rata hanya 9,22 tahun atau didominasi oleh lulusan Sekolah menengah Pertama (SMP). Meskipun menurut Amalia Adininggar Widyasanti selaku kepala BPS, angka tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yakni 9,13 tahun pada tahun 2023, namun capaian tersebut hanya menggungguli sedikit dari target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) sebesar 9,18 tahun.

Secara mengejutkan data yang dibeberkan oleh BPS pada Agustus 2023, memperlihatkan bahwa dari 209 juta penduduk berusia 15 tahun terdapat 4,29% atau sekitar 8,96 juta jiwa belum atau tidak pernah sekolah, namun tidak tamat Sekolah Dasar (SD) atau sederajat sebesar kurang lebih 10,3 juta jiwa atau 4,94%. Kemudian tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat sebanyak 19,90% yakni sekitar 41,6 juta jiwa, sedangkan tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat sebesar 34,12% atau kurang lebih 71,3 juta jiwa, tamat diploma I/II sebanyak 2,07% atau sekitar 4,3 juta jiwa, tamat diploma III atau sekitar 6,8 juta jiwa, dan tamat jenjang universitas yakni S1 ke atas sebesar 7,87% atau sekitar 16,5 juta jiwa.

Selain itu, masalah lain yang turut serta menjadi penyebabnya adalah ketimpangan dalam kemampuan mengakses pendidikan antara di kota dan di desa yang disebabkan perbedaan tingkat ekonomi dan kelompok penyandang disabilitas sebagai kelompok paling terancam tertinggal dalam pendidikan. Angka partisipan pendidikan untuk usia 7-12 tahun atau usia SD mencapai 99% keatas, untuk usia SMP (13-15 tahun) sebanyak kurang lebih 94%, dan angka partisipan semakin menurun pada kelompok usia SMA (16-18 tahun) sebesar kurang lebih 75%. Penurunan drastis pada usia perguruan tinggi (19-24 tahun) hanya sekitar 25%.

Demikian pula dalam persoalan penyelesaian pendidikan yang juga menjadi penyebab menurunnya rata-rata durasi mengenyam pendidikan karena memperlihatkan penurunan disetiap jenjang, yakni sebesar 97,84% mampu menyelesaikan pendidikan SD/sederajat, sebanyak 91,15% mampu menyelesaikan jenjang SMP/sederajat, dan 67,07% yang mampu menyelesaikan jenjang SMA/SMK/sederajat. (https://www.beritasatu.com: 2 Mei 2025)

Komersialisasi pendidikan dalam negara bersistem kapitalisme telah membuat akses pendidikan terbentur dengan kemampuan ekonomi. Beban pajak yang tinggi serta sempitnya lahan pekerjaan menjatuhkan rakyat ke dalam jurang kemiskinan. Meskipun negara menyediakan berbagai macam program dengan harapan dapat dijadikan solusi seperti kartu Indonesia pintar (KIP), sekolah gratis, beasiswa, dan lain-lain, namun kenyataannya program tersebut tidak mampu menyentuh seluruh rakyat karena selain terbatas untuk kalangan tertentu, terbatas pula jumlahnya.

Bahkan untuk daerah dengan status terdepan, terluar dan tertinggal (3T), keberadaan layanan pendidikan masih belum mampu menjangkau secara merata. Mirisnya, keadaan buruk tersebut diperparah dengan pemangkasan anggaran pendidikan atas nama efisiensi. Sehingga semakin jelaslah bahwa pendidikan bukanlah prioritas utama dalam sistem kapitalisme. Hak-hak dasar rakyat tak pernah digubris dan kurikulum pendidikan yang dijalankan hanya mampu mencetak buruh.

Berbeda halnya dengan sistem Islam yang memosisikan negara sebagai pelayan umat yang wajib menyediakan segala macam kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, sandang, pangan, dan papan yang dapat diakses dengan mudah bahkan gratis.

Sumber pendapatan negara yang stabil melalui mekanisme baitulmal seperti harta fai’, kharaj dan kepemilikan umum dikelola secara mandiri yang hasilnya dikembalikan untuk pelayanan rakyat membuat negara mampu mengelola pendidikan secara langsung dan mandiri tanpa intervensi pihak swasta. 

Demikianlah sistem Islam melayani dan melindungi umat dalam setiap aspek kehidupan.


Share this article via

9 Shares

0 Comment