| 11 Views
Kemajuan Digital Membahayakan Perempuan dan Anak Jika Tanpa Perlindungan

Oleh : Ummu Tazkia
Perkembangan teknologi digital semakin pesat dari waktu ke waktu. Sayangnya, di balik semua kemajuan itu, ada ancaman serius yang mengintai, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Banyak dari mereka yang menjadi korban kekerasan, baik secara verbal maupun visual, yang terjadi melalui media sosial. Bahkan, beberapa kasus memperlihatkan bahwa media sosial menjadi sumber utama pengaruh buruk terhadap anak-anak dan perempuan (Tempo.co, 21 Juni 2024).
Anak-anak sekarang juga semakin terbiasa menggunakan gawai sejak usia dini. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam menatap layar, bermain game, menonton video, atau menjelajah media sosial. Padahal, kebiasaan ini bisa menjadi ancaman besar bagi masa depan generasi bangsa. Jika dibiarkan, penggunaan gawai yang berlebihan akan melemahkan kemampuan belajar, merusak mental, dan mengurangi interaksi sosial secara langsung (Antaranews.com, 3 Juni 2024).
Sebenarnya pemerintah Indonesia sudah berusaha untuk memperkenalkan peraturan tentang tumbuh kembang anak di forum internasional, sebagai bentuk kepedulian terhadap isu perlindungan anak di era digital. Tapi sayangnya, perlindungan nyata di dalam negeri belum benar-benar terasa. Konten negatif masih mudah diakses, dan pengawasan terhadap ruang siber masih lemah (Menpan.go.id, 26 Februari 2024).
Masalah ini bukan hanya karena teknologi itu sendiri, tapi karena tidak ada panduan iman dan aturan yang benar dalam menggunakannya. Sistem pendidikan sekarang lebih mengajarkan materi duniawi, tapi mengesampingkan pembinaan akhlak dan ketakwaan. Inilah akibat dari diterapkannya sistem sekuler kapitalisme, di mana teknologi dijadikan ladang bisnis tanpa memikirkan dampak jangka panjang terhadap moral masyarakat.
Dalam Islam, negara punya tanggung jawab besar untuk melindungi rakyatnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya imam (khalifah) itu adalah perisai. Orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Negara seharusnya menjadi pelindung, termasuk di ruang digital. Islam tidak anti teknologi, tapi penggunaannya harus diatur agar tidak merusak. Negara wajib membangun sistem teknologi yang mandiri dan sesuai syariat Islam. Bukan hanya untuk mencegah bahaya seperti pornografi dan kekerasan, tapi juga untuk menjaga kemuliaan manusia.
Allah juga mengingatkan: "Dan peliharalah dirimu dari fitnah yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya."
(QS. Al-Anfal: 25)
Artinya, jika kerusakan dibiarkan, dampaknya akan dirasakan semua orang. Karena itu, negara harus bertindak. Perlindungan terhadap perempuan dan anak bukan cukup dengan himbauan atau kampanye saja, tapi perlu sistem yang nyata dan menyeluruh.
Peran negara sebagai junnah (perisai) bagi rakyat sangat krusial. Negara tidak bisa hanya menjadi fasilitator pertumbuhan ekonomi digital, melainkan juga harus menjadi pelindung moral dan keselamatan generasi. Dan peran ini hanya akan terwujud dalam sistem pemerintahan yang menjadikan Islam sebagai dasar pengaturan kehidupan, yakni Khilafah Islamiyah.
Khilafah bukan hanya akan mengatur bagaimana teknologi dikembangkan, tetapi juga mengarahkan penggunaannya untuk tujuan-tujuan mulia. Setiap aspek teknologi, termasuk dunia siber, akan dikendalikan dengan panduan syariat Islam yang berorientasi pada kemaslahatan umat dan penjagaan kehormatan manusia. Teknologi tidak akan dilepaskan bebas tanpa batas, namun dikembangkan dalam koridor halal-haram yang jelas dan adil.
Sudah saatnya kita menuntut hadirnya kembali perisai itu: Khilafah Islamiyah. Sebuah sistem yang mampu mengatur dunia digital bukan dengan keserakahan, tapi dengan ilmu dan iman. Sebuah sistem yang menjaga martabat manusia dan melindungi generasi dari kerusakan. Sebuah sistem yang membawa rahmat bagi semesta alam.