| 9 Views
Kecurangan Beras Premium, Regulasi Tak Mampu Melawan Korporasi

Oleh : Siti Rodiah
Beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Tetapi masyarakat sering kesulitan membeli beras karena harganya yang semakin mahal, terlebih lagi beras kualitas premium. Baru-baru ini dunia "persembakoan" kembali dibuat tercengang dengan munculnya fenomena pengoplosan bahan pangan berupa beras premium yang kembali menyeruak, di mana lagi-lagi makanan pokok masyarakat yang menjadi sasaran. Dilansir dari kompas.com (13/7/2025), Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan, beras oplosan beredar bahkan sampai di rak supermarket dan minimarket, dikemas seolah-olah premium, tapi kualitas dan kuantitasnya menipu.
Hal ini menjadi sebuah keprihatinan serius di sektor pangan nasional. Temuan tersebut merupakan hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) bersama Satgas Pangan yang menunjukkan 212 merek beras terbukti tidak memenuhi standar mutu, mulai dari berat kemasan, komposisi, hingga label mutu. Beberapa merek tercatat menawarkan kemasan “5 kilogram (kg)” padahal isinya hanya 4,5 kg. Lalu banyak di antaranya mengklaim beras premium, padahal sebenarnya berkualitas biasa.
Diberitakan dari metrotvnews.com (28/6/2025), yang menyebutkan bahwa baik beras premium dan medium ditemukan tidak sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) dan tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan permentan No. 31 tahun 2017. Sebanyak 85,56 persen beras premium yang diuji tidak sesuai dengan standar kualitas yang telah ditetapkan. Dan potensi kerugian konsumen bisa mencapai Rp. 99,35 triliun rupiah.
Kecurangan beras baik dalam timbangan dan kualitas/jenis sudah terjadi beberapa waktu ini. Sebenarnya jika kita telisik, hal ini sudah lama dan sering terjadi, tapi baru terbongkar dan viral saat sekarang ini. Tentu saja hal ini membuat masyarakat dan negara menderita kerugian besar. Mirisnya pelakunya adalah perusahaan besar (mafia pangan), dan negara sudah memiliki regulasi untuk mengatasinya. Namun apalah daya, regulasi tersebut ternyata tidak mampu (gagal) dalam memberikan efek jera kepada para mafia-mafia pangan yang telah melakukan banyak kecurangan di negeri ini. Buktinya mereka merasa aman dan nyaman karena dilindungi negara dan tidak mendapatkan sanksi yang tegas terhadap kejahatan yang sudah mereka lakukan. Regulasi yang dibuat penguasa sejatinya adalah alat untuk membohongi masyarakat guna memuluskan niat busuk para mafia pangan tersebut.
Dengan begini bisa dipastikan nasib kehidupan rakyat akan semakin sulit dan menderita di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil dan makin tingginya harga pangan di negeri ini. Masyarakat sebagai konsumen harus menanggung kerugian yang berlipat-lipat dengan merogoh kocek yang dalam untuk membeli beras yang tidak sesuai dengan label tertera pada kemasan beras tersebut. Jika tidak segera dibenahi, dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin kepercayaan publik akan semakin merosot dan terkikis terhadap sistem pangan nasional.
Praktek kecurangan sejatinya juga merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan yang jauh dari aturan agama (sekular). Semua hanya demi keuntungan semata, bahkan sampai menghalalkan yang haram dan melanggar regulasi. Inilah hal yang dianggap biasa dalam sistem sekuler kapitalisme. Keuntungan pribadi adalah prioritas yang wajib dicapai tanpa memperdulikan dampak yang terjadi dibaliknya.
Sesungguhnya berlarutnya persoalan ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan juga sistem sanksi. Juga erat kaitannya dengan sistem pendidikan yang gagal mencetak individu yang amanah dan bertakwa. Sistem pendidikan ala kapitalisme sekulerisme hanya mencetak individu berorientasi kapitalis, yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan kroni-kroninya. Ketika mereka menjadi pemimpin di pemerintahan, mereka akan mencari untung dari kekuasaan yang mereka terima. Mereka tidak peduli dengan kesengsaraan yang menimpa rakyat.
Selain itu juga ketidakhadiran peran negara dalam mengurusi pangan, karena pengelolaan hulu ke hilir dikuasai oleh korporasi yang orientasinya bisnis. Penguasaan negara terhadap pasokan pangan tidak lebih dari 10%, sehingga tidak punya bargaining power (daya tawar) terhadap korporasi. Hal ini berimbas pada pengawasan dan penegakan sanksi. Jadi bisa dipahami bahwa penguasa kita tak bertaji sehingga tunduk pada kepentingan korporasi.
Bagi pejabat atau penguasa, Islam mengharuskan mereka amanah dan juga bertanggungjawab dalam menjaga tegaknya keadilan. Apalagi penguasa adalah pelayan rakyat, sebagai raain dan junnah bagi rakyatnya. Bahkan disebutkan dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda, "Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam islam tegaknya aturan didukung oleh tiga hal. Ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan tegaknya aturan oleh negara yang akan terwujud dengan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Islam juga memiliki qadhi hisbah yang akan memeriksa dan memastikan regulasi terkait hal ini berjalan dengan baik dan sesuai aturan.
Islam juga menetapkan negara harus hadir secara utuh untuk mengurusi pangan mulai produksi, distribusi, hingga konsumsi. Bukan hanya memastikan pasokan tersedia, namun juga mengurusi rantai tata niaga sehingga tidak terjadi kecurangan seperti ini serta konsumsi untuk memastikan pangan benar-benar sampai kepada seluruh individu rakyat. Beginilah sistem Islam yang hadir ditengah-tengah kehidupan masyarakat dengan visi kemanusiaannya yang berlandaskan akidah dan sistem yang adil. Dalam naungan daulah Islam, rakyat tidak akan dibuat kelaparan, karena negara bukanlah pedagang atau pebisnis tapi pelayan umat.
Wallahu a'lam bisshawab