| 168 Views

Ilusi Pembangunan Ekonomi Dengan Kenaikan Tarif PPN

Oleh : Marjani Sabrina 

Pemerintah resmi menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 (16-12-2024). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, penetapan PPN 12 persen sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Meskipun demikian, untuk barang dan jasa yang bersifat strategis, pemerintah tetap melanjutkan pemberian fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN. Airlangga merinci, pemerintah bakal memberikan fasilitas dengan membebaskan PPN untuk sebagian barang kebutuhan pokok dan barang penting (bapokting). (www.antaranews.com)

Konsep dan Realita Pajak dalam Ekonomi Kapitalisme
Dalam ekonomi kapitalisme, pajak memiliki peran penting sebagai sumber utama pendapatan negara. Secara umum, pajak adalah kontribusi yang dipungut oleh negara dari individu atau perusahaan untuk membiayai pengeluaran pemerintah, seperti infrastruktur, layanan publik, dan program sosial. Negara umumnya mengandalkan pajak untuk memastikan bahwa berbagai program publik dapat berjalan.

Selain sebagai pemasukan utama negara, pajak juga bertujuan untuk menciptakan redistribusi kekayaan. Pajak progresif, di mana individu atau perusahaan dengan pendapatan lebih tinggi membayar persentase yang lebih besar, bertujuan untuk mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin melebar dalam ekonomi kapitalisme. Namun kenyataannya, ketika pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022, porsi PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap pendapatan domestik justru menurun dari 27,5% pada 2021 menjadi 26,1% pada 2022. Karena itu kenaikan tarif PPN dinilai tidak optimal meningkatkan penerimaan negara dan redistribusi kekayaan.

Realisasi penerimaan PPN selama ini juga tidak sebanding dengan potensi yang seharusnya. Alat ukur untuk mengetahui optimal tidaknya penerimaan PPN adalah rasio penerimaan PPN (VAT revenue ratio/VRR), yaitu perbandingan realisasi penerimaan PPN dengan potensi penerimaan yang seharusnya dihasilkan. Setelah kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022, VRR yang tercatat adalah 57,1%. Artinya, 42,9% dari potensi penerimaan PPN belum terkumpul sebagaimana seharusnya. Setelah kenaikan tarif PPN, rasio VRR tetap di bawah potensi dan jauh lebih rendah daripada VRR satu dekade yang lalu.

Hal ini berkaitan pula dengan perilaku ekonomi, dimana pajak sering dipandang sebagai instrumen yang dapat menciptakan insentif ekonomi, terutama bagi perusahaan dan individu. Akan tetapi pada penerapannya, pajak yang tinggi atau kebijakan pajak yang rumit telah mempengaruhi keputusan perusahaan dalam hal lokasi, ekspansi, atau pengalokasian modal. Akibatnya banyak perusahaan yang melobi pemerintah untuk mendapatkan pajak yang lebih rendah, insentif pajak, atau bahkan pemotongan pajak untuk meningkatkan keuntungan dan daya saing mereka di pasar global.

Di sisi lain, kenaikan tarif PPN akan berdampak luas ke masyarakat. Peneliti Sigmaphi Policy Research & Data Analysis Muhamad Mulya Tarmizi memperkirakan kenaikan tarif PPN akan menyebabkan PDB turun 0,8% dan jumlah penduduk miskin naik 267.279 jiwa.

Dengan demikian, peningkatan penerimaan pemerintah dari kenaikan tarif PPN tidak akan sebanding dengan dampaknya pada perekonomian masyarakat. Kenaikan tarif PPN memukul sendi-sendi ekonomi masyarakat. Pengeluaran masyarakat akan makin besar, sedangkan upah tidak meningkat signifikan.

Pandangan Islam Tentang Pajak
Islam memposisikan rakyat sebagai tanggung jawab negara. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari).

Imam (khalifah) dalam sistem Islam wajib bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. Negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok tiap-tiap rakyat yang meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dana untuk mencukupi kebutuhan rakyat berasal dari baitul mal. Negara mengelola baitul mal (APBN) untuk mencukupi kebutuhan rakyat secara makruf (layak/baik) berdasarkan prinsip syariat.

Dalam sistem keuangan Islam, terdapat pemasukan rutin bagi baitul mal, diantaranya; pos pemasukan dari fai, kharaj, ‘usyur, dan dari kepemilikan umum yang dikelola oleh negara. Semua itu cukup untuk membiayai apa yang diwajibkan atas baitul mal pembiayaannya, yang berhubungan dengan pemeliharaan urusan umat dan mewujudkan kemaslahatannya. Pada kondisi itu, negara tidak memerlukan pungutan pajak atas kaum Muslim.

Adapun kondisi dimana perlu adanya pungutan pajak, adalah ketika kondisi di baitul mal tidak ada harta, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Al Amwal fi Daulah Al Khilafah karya Abdul Qadim Zallum. Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan pembiayaan atas berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang harus dipenuhi oleh baitul mal, baik dalam kondisi ada harta didalamnya maupun tidak. Jika tidak ada harta di baitul mal, maka kewajibannya beralih kepada kaum Muslim untuk membiayainya. Kemudia jika terjadi kondisi dimana baitul mal dan sumbangan dari kaum Muslim tidak cukup untuk memenuhi pos-pos pengeluaran, maka negara mengambil pajak dari kaum Muslim yang kaya dan sebatas memenuhi kekurangan biaya pos pengeluaran wajib.

Adapun yang dimaksud dengan kaya adalah kaum Muslim yang memiliki kelebihan harta setelah mereka mampu memenuhi kebutuhan dasar dan pelengkapnya secara sempurna, sesuai dengan standar hidup tempat mereka tinggal. Dengan kata lain pengeluaran tersebut tidak memerlukan usaha yang sungguh-sungguh, melainkan kelebihan dari yang dibutuhkan. Pajak diambil dari kelebihan tersebut, bukan berasal dari harta yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan.

Karena itu, Islam mengharamkan penarikan pungutan paksa (maksi) sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ

“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]

Dalam Islam, negara harus independen dan hanya menjadikan syariah kaffah sebagai satu-satunya solusi masalah kehidupan. Negara dilarang bergantung pada asing dalam hal keamanan maupun mengurus urusan negara dan umat. Sehingga penguasa tidak akan menggunakan kebijakan zalim, seperti menaikkan tarif PPN. Karena dengan kenaikan PPN 12 %, menjadikan beban masyarakat semakin berat. Ditengah banyaknya rakyat yang hidup jauh dari kelayakan dan sejahtera, namun tagihan pajak terus membengkak.

Fakta ini menjadi bukti kedzaliman & kebobrokan sistem kapitalisme yang menjadikan rakyat hanya sebagai sapi perah. Juga membuktikan betapa lemahnya aturan buatan manusia dalam sistem demokrasi yang tidak mampu menyentuh akar persoalan dan tidak mampu memberikan solusi hakiki. Sistem demokrasi telah nyata sangat merusak dan hanya menguntungkan segelintir oligarkhi “of 1%, by 1%, for 1%.”

Satu-satunya jalan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, tentunya kesejahteraan hakiki yang dilimpahi keberkahan kehidupan dunia juga akhirat, adalah dengan kembali pada kehidupan yang menerapkan aturan dari Al Khaliq Al Mudabbir (sistem Islam -penj). Kembali pada kehidupan yang dipimpin oleh seorang khalifah yang takut kepada Allah, alih-alih mencuri simpati rakyat dengan kebijakan-kebijakan populis yang menipu.


Share this article via

31 Shares

0 Comment