| 7 Views
Haji Tak Sekedar Ibadah Ritual Tahunan

Oleh : Maheasy
Komunitas Muslimah Arsitek Peradaban
Haji merupakan simbol persatuan umat Islam seluruh dunia. Sekalipun berasal dari berbagai negeri, ras, suku, bangsa, bahasa, budaya, warna kulit, dan latar belakang sosial ekonomi melebur menjadi satu melampaui sekat-sekat tersebut saat menjalankan ibadah haji kepada Allah subhaanahu wataa’ala.
Namun persatuan umat tersebut terlihat hanya sesaat dan hanya sebuah rutinitas menjalankan ibadah tahunan saja, belum mencerminkan persatuan hakiki sebagai kekuatan politik umat Islam. Faktanya, selepas menunaikan ibadah haji, umat kembali tercerai-berai dan saling bermusuhan, tersekat-sekat atas nama nasionalisme, bahkan melupakan penderitaan saudara seiman di berbagai penjuru dunia.
Salah satunya adalah kondisi Palestina yang merupakan sekat nasionalisme yang tampak jelas di depan mata. Hampir lebih dari enam puluh ribu jiwa muslim menjadi korban genosida zionis Israel. Setiap hari nyawa kaum muslim melayang, tangis para bayi dan anak-anak di bawah reruntuhan akibat ledakan bom dari berbagai sisi, tidak sedikit anak-anak kehilangan anggota badannya, duka para ibu yang kehilangan seluruh anaknya, rintihan penduduk Palestina yang tidak menemukan makanan dan terancam kelaparan. Sedang negeri-negeri muslim yang dekat wilayahnya dengan Palestina tidak berdaya karena terbelenggu dengan sekat nasionalisme tersebut.
Hal tersebut menunjukkan bahwa umat Islam lemah, meski jumlahnya milyaran jiwa. Umat Islam masih terpecah-belah dan tercerai-berai belum adanya kesatuan akidah. Padahal Allah Taala telah menegaskan bahwa umat Islam merupakan saudara satu sama lain, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (QS Al-Hujurat [49]: 10). Begitupun Rasulullah saw telah mengingatkan kepada kita dalam sabdanya, “Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lainnya, tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya (dizalimi).” (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw memberikan perumpamaan yang begitu indah bahwa umat Islam bagai satu tubuh yang saling mendukung, “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586).
Rasulullah saw juga menjelaskan dengan menggambarkan umat Islam bak sebuah bangunan yang saling menguatkan. Sesuai dengan sabdanya, “Permisalan seorang mukmin dengan mukmin yang lain itu seperti bangunan yang menguatkan satu sama lain.” (HR Bukhari no. 6026 dan Muslim no. 2585).
Islam juga telah menggambarkan secara jelas bahwa pelaksanaan ibadah haji memiliki makna politis yakni persatuan umat. Persatuan ini tampak dalam pelaksanaan wukuf di Arafah sebagai rukun paling utama dalam ibadah haji. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Haji adalah Arafah.” (HR An-Nasa’i).
Arafah telah mempertemukan seluruh jamaah haji dari berbagai dunia, yang bukan hanya diikat oleh akidah yang sama, Al-Qur’an yang sama, kiblat yang sama, tetapi mereka juga menjalankan nusuk yang sama, berkumpul di tempat yang sama, pada waktu yang sama, dan menyerukan seruan yang sama, yakni bacaaan talbiah, tahlil, tahmid, takbir, zikir, dan doa.
Sejak matahari terbit, pada tanggal 9 Zulhijjah, mereka berbondong-bondong datang memasuki Arafah. Tepat pada saat zawal, ketika wukuf telah dimulai, lautan manusia, tua-muda, pria-wanita, hitam-putih, semuanya tumpah ruah di tempat itu. Semuanya berpakaian sama, tidak peduli jabatan, status sosial dan kedudukan mereka. Semuanya berpakaian ihram. Tidak ada kelas, karena semuanya sama.
Hal inilah yang dibanggakan oleh Allah Swt. kepada para malaikat-Nya sebagai pemandangan agung (masyhad a’zham). Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah berbangga kepada para malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di Arafah, dan berkata, ‘Lihatlah keadaan hamba-Ku, mereka mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu.’.” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).
Saat seluruh umat Islam ini melebur menjadi satu dalam ibadah haji. Hal ini telah membuktikan kebenaran firman Allah Swt., “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu, dan Akulah Tuhan kalian. Maka, sembahlah Aku.” (QS Al-Anbiya’ [20]: 92).
Bukan hanya kesatuan kaum muslim dalam menjalankan ibadah haji, pada masa Rasulullah saw. dan kekhalifahan setelahnya, persatuan umat juga tampak dari kesatuan umat di bawah satu kepemimpinan.
Ketika itu di Arafah, tepatnya di tempat yang kini berdiri kokoh Masjid Namirah, Nabi saw. selaku kepala negara menyampaikan khutbahnya yang terkenal. Selain mendeklarasikan hak-hak manusia, kemuliaan darah, harta, hari dan tanah suci Haram, sebagaimana dalam sabdanya, “Wahai seluruh umat manusia, sesungguhnya darah dan harta kalian hukumnya haram bagi kalian untuk dinodai, sebagaimana menodai keharaman hari, bulan dan negeri ini”
Rasulullah saw sebagai kepala negara juga telah membatalkan seluruh praktik dan tradisi jahiliah, mengharamkan riba, dan sebagainya (As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsur, Juz I/534).
Demikianlah, ibadah haji dapat mewujudkan persatuan umat yang hakiki, dalam sejarah kehidupan umat Islam sejak masa Rasul saw. dan masa-masa berikutnya sangat sarat dengan makna dan pengaruh besar dalam kehidupan mereka. Hal ini tentu hanya akan terwujud kembali dengan tegaknya kembali kepemimpinan Islam, dengan izin Allah. Sehingga ibadah haji bukan hanya sekedar ibadah ritual tahunan belaka.
Wallahualam bishowab.