| 251 Views

Gurita Kriminalitas Anak

Oleh: Windy Kurniawati
Ibu Rumah Tangga

Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak untuk mendapat pendidikan. Peran orang tua sangat dibutuhkan dalam pembentukan karakternya, tetapi di era pendidikan sistem kapitalisme ini tidak jarang melahirkan generasi milenial yang anarkis akibat lingkungan dan pergaulan yang bebas. Itulah mengapa pendidikan agama usia dini sangat dibutuhkan.

Seperti dilansir dari SUKABUMIKU.id (02-5-2024), warga digemparkan dengan ditemukannya mayat seorang anak laki-laki berinisial MA (6 tahun). Ia menjadi korban pembunuhan dan kekerasan seksual sodomi. Polres Sukabumi kemudian melakukan serangkaian penyelidikan dan berhasil menangkap pelaku yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Polisi pun menetapkan pelaku sebagai tersangka utama dan berstatus anak berhadapan dengan hukum (ABH). 

Berdasarkan pemeriksaan, pelaku melakukan aksi kejinya seorang diri. Sebelum menyalurkan hasrat bejatnya, pelaku mengaku pernah menjadi korban pencabulan atau sodomi. Kepolisian juga masih mendalami apakah ada korban lain yang mengalami peristiwa sodomi dari pelaku.

Kemudian pelaku akan dikenakan pasal Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2022 tentang perlindungan anak dengan penjara minimal 6 tahun dan juga dijerat dengan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan pidana penjara selama 15 tahun, kemudian Pasal 351 ayat 3 KUHP tentang penganiayaan mengakibatkan meninggal dunia dengan pidana penjara 7 tahun. 

Penyebab Kriminalitas Anak

Kriminalitas seakan menjadi hal yang lumrah di tengah pergaulan anak Indonesia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mencatat sejak tahun 2011—2018 anak pelaku kriminalitas cukup tinggi. Kasus terbanyak adalah anak menjadi pelaku kekerasan seksual, kekerasan fisik, bahkan pembunuhan.

Adapun menurut data dari Direktorat Jenderal Permasyarakatan Hukum dan HAM menunjukkan peningkatan pada periode 2020 hingga 2023. Tercatat sebanyak 1.467 anak berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana.

Dewan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Setyo Mulyadi, mengatakan penyebab maraknya kriminalitas pada anak usia dini dan remaja adalah kekacauan sistem pendidikan di Indonesia yang hanya mengedepankan kecerdasan, tetapi minim moral dan etika.

Di sisi lain, sistem sekularisme turut memengaruhi pola penyusunan kurikulum dalam sistem pendidikan hari ini. Output pendidikan dan tujuan pendidikan tidak sinkron. Dalam salah satu poin UU Sisdiknas disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional ialah membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuannya untuk mengembangkan potensi perserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berilmu.

Pertanyaannya, apakah tujuan itu tercapai jika porsi Islam dalam struktur pendidikan sekuler begitu minim? Meski ada begitu banyak lembaga pendidikan Islam sebagai solusi alternatif, hal ini bukan jaminan tidak akan terjadi perilaku negatif pada generasi muda saat ini.

Ditambah pada era keterbukaan informasi yang bisa mengakses apa saja di dunia digital, budaya, serta pemikiran asing yang menjadi kiblat dan tren kehidupan remaja tanpa bisa menyaring benar atau salah sesuai pandangan Islam.

Solusi Islam

Anak adalah amanah dan titipan dari Allah Swt. Anak adalah aset berharga sebuah bangsa, merekalah generasi masa depan yang akan membangun peradaban manusia. Seberapa gemilang dan seburuk apa peradaban masa kini tergantung pada kualitas sumber daya manusianya.

Mendidik generasi ibarat kita sedang mempersiapkan lahirnya peradaban mulia. Generasi emas tidak lahir dari pendidikan yang syarat pencapaian duniawi saja, apalagi yang terlibat perbuatan kriminal. Namun ia lahir dalam sistem pendidikan yang bervisi membentuk kepribadian yang mulia.

Memang benar bahwa keluarga menjadi madrasah pertama yang harus mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak, dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah taala. Namun hal ini belum cukup karena mewujudkan generasi unggul membutuhkan sistem yang mendukung. Tanpa sistem ini segala upaya yang dilakukan akan menghambat lahirnya generasi berkualitas baik secara akademis, emosional, dan spiritual. Jadi, untuk menyelamatkan dan melindungi generasi dari kerusakan hanya bisa dilakukan dengan penerapan Islam secara kafah.

Oleh karena itu, yang perlu dirombak dan dievaluasi bukan hanya guru, orang tua, atau lembaga, melainkan sistem yang diterapkan, yakni sistem sekuler kapitalisme yang kini telah menjamur di semua lini kehidupan. 
Wallahualam bissawab.


Share this article via

83 Shares

0 Comment