| 15 Views

Gaza Butuh Tentara, Solusinya Hanya Jihad di bawah kepemimpinan Islam

Oleh : Ummu Fany

Persoalan Palestina dimulai sejak pendudukan entitas Yahudi yang merampas tanah Palestina, mengusir umat Islam dan melakukan pembunuhan; terutama setelah keruntuhan Khilafah Utsmaniyah yang berabad-abad menjaga tanah Palestina yang diberkahi. Terakhir, genosida atas rakyat Palestina terus berlangsung hingga kini.

Senin (21-4-2025), Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), merilis data, jumlah korban anak yang tewas sejak berakhirnya gencatan senjata pada 18 Maret 2025 mencapai 600 orang dari 1.522 orang korban. Sementara jumlah anak-anak yang terluka mencapai lebih dari 1.600 orang, dari total 3.834 korban.

Pasca-gencatan senjata, situasi Gaza memang jauh lebih mencekam. Bumi Gaza pun kerap disirami hujan darah diikuti serpihan daging manusia akibat gelombang serangan bom Zion*s yang makin masif dan brutal. Mereka pun tidak segan-segan menyerang pengungsian dan membakar hidup-hidup para korban, hingga langit Gaza pun riuh dengan tangis dan jeritan yang sangat memilukan.

Mirisnya, semua ini terjadi di tengah pemberlakuan kembali blokade darat yang telah menyebabkan berbagai wilayah dilanda krisis pangan. Jutaan penduduk Gaza yang tersisa kehilangan pendapatan. Mereka pun mengalami kelaparan parah. Sampai-sampai dikabarkan sebagian dari mereka terpaksa memakan daging kura-kura untuk sekadar bertahan.

Negara-negara Barat pun bersatu padu mendukung serangan Israel dengan alasan pertahanan terhadap rudal Hamas. Pembelaan atas Palestina hanya dilakukan oleh warga sipil mereka yang tidak memiliki kekuatan politik. Bahkan AS selalu setia menjadi pendukung utama entitas Yahudi. Buktinya, dalam voting rancangan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) tahun lalu, saat mayoritas anggota kongres menyetujui keanggotaan penuh Palestina dalam organisasi internasional PBB, namun AS menolaknya dengan menggunakan hak vetonya.

Terlebih, terpilihnya kembali Donald Trump menjadi Presiden AS menjadi sinyal yang makin kuat atas dukungan AS pada Israel. Banyak pengamat mengatakan, serangan entitas Yahudi yang kian masif akhir-akhir ini, yang terjadi di tengah desakan untuk gencatan senjata di Gaza, tidak bisa dilepaskan dari terpilihnya Trump sebagai Presiden AS yang akan mulai menjabat pada 20 Januari 2025.

Di Indonesia sendiri, baru-baru ini Menlu RI Sugiono, mengatakan Indonesia siap mengirim pasukan perdamaian ke Palestina. Hanya saja rencana tersebut harus sesuai dengan prosedur hukum internasional, yaitu jika ada ketetapan dari DK PBB. Artinya, komando ada di PBB.

Pernyataan Indonesia siap mengirimkan pasukan pada Palestina ini bukan yang pertama. Tahun lalu pun Menha yang saat itu dijabat oleh Prabowo Subianto mengeluarkan pernyataan yang sama. Namun hingga hari ini pengiriman tentara tidak juga terlaksana, sebab tidak ada restu dari PBB.

kita menyaksikan dunia seolah-olah membiarkan okupansi entitas Yahudi atas Palestina. PBB sendiri mandul menyelesaikan persoalan Palestina. Kondisi ini makin buruk karena penguasa negeri-negeri muslim tidak juga menurunkan militernya untuk membebaskan Palestina. Kaum muslim pun laksana tanpa induk terkait cita-cita pembebasan Palestina.

Entitas Yahudi harus terlihat kuat, meski pada realitasnya sangat lemah. Sistem pertahanan entitas Yahudi yang selama ini dicitrakan mutakhir dan tidak terkalahkan dengan Iron Dome-nya, kini hancur pascaserangan 7 Oktober 2023. Hingga kini, meski Yahudi membombardir tiap sudut Palestina, mereka tidak bisa secara otomatis mengendalikan Gaza, juga Rafah, padahal persenjataan mereka sudah didukung penuh oleh AS. Pada saat yang sama, mereka harus tampak kuat agar negeri-negeri muslim takut akan kekuatan Yahudi untuk selanjutnya bersedia menormalisasi entitas Yahudi sekaligus tunduk pada Barat.

Tidak heran, Barat sangat mendukung penuh entitas Yahudi sebab ia sahabat dekat negara-negara Barat. Dialah satu-satunya yang dapat dipercaya mampu memuluskan kepentingan Barat di Timur Tengah. Walaupun Barat juga dekat dengan penguasa Arab, namun keyakinan Barat pada mereka tidak terlalu tinggi karena gejolak konflik internal negaranya yang kerap menumbangkan rezim boneka buatan Barat. Sebagai contohnya adalah peristiwa politik Arab Spring yang menumbangkan Husni Mubarak di Mesir dan Muammar Khadafi di Libya. Demikianlah alasan yang menyebabkan konflik ini seolah-olah terus dipelihara.

Kaum muslim jangan terkecoh dengan akal bulus negara-negara Barat. Saat mereka menyumbang besar-besaran untuk UNWRA (organisasi di bawah PBB yang menangani para pengungsi Palestina), pada saat yang sama mereka menyuplai senjata untuk kelancaran serangan entitas Yahudi terhadap Palestina. Begitu pula kecaman keras PBB pada entitas Yahudi yang seolah-olah menjadi klaim sebagai penjaga perdamaian dunia.

Semua itu tidak ubahnya kamuflase atas nilai-nilai Barat yang memiliki standar ganda. Buktinya, PBB memiliki lima negara pemegang hak veto yang mampu mengintervensi negara lainnya. Ini menegaskan sikap PBB yang jauh dari demokratis. Sedangkan demokrasi sendiri adalah sistem yang “dijajakan” pada kaum muslim, padahal mereka telah melanggar nilai-nilai itu sendiri.

Demikian halnya dengan HAM yang tidak lain adalah nilai-nilai yang selalu Barat propagandakan sebagai nilai luhur. Dukungan Barat kepada entitas Yahudi sejatinya telah menjadikan mereka sebagai pelanggar HAM yang sempurna.

Inilah wujud hipokrisi Barat. Mereka hanya menjadikan nilai dan organ-organnya sebagai alat pelindung kepentingan mereka. Barat tidak segan untuk melanggarnya jika berbenturan dengan agenda besarnya sendiri.

Hendaklah kaum muslim tidak pernah percaya dengan PBB dan organ-organ lainnya. Terlebih dalam sejarahnya, PBB adalah pihak yang justru mendeklarasikan berdirinya negara Yahudi pada 1948 sehingga memicu terjadinya peristiwa Nakba I. Dengan kata lain, PBB adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas pembantaian warga Palestina. Sedangkan di balik PBB ada negara-negara adidaya Barat yang siap melakukan apapun, termasuk genosida demi langgengnya kekuasaan mereka atas dunia.

Sayang, dalam persoalan Palestina, negeri-negeri muslim hanya mampu beretorika. Tidak ada satu pun tentara yang dikirim untuk membantu Palestina. Indonesia sendiri hanya terus mengatakan siap mengirim tentara, namun tidak sanggup mengirimnya langsung tanpa restu PBB.

Arab Saudi bisa mengirimkan pesawat tempurnya ke Yaman untuk membombardir Houthi, tetapi enggan mengirimnya ke Palestina untuk menghancurkan entitas Yahudi. Bahkan penguasa Arab tidak bersedia mengembargo penyaluran minyaknya ke entitas Yahudi dengan alasan tidak mau berkonflik dengan AS. Selain itu, penguasa Arab pun meyakini bahwa solusi atas konflik Palestina itu bukan embargo melainkan damai, gencatan senjata, dan solusi dua negara (two-state solution).

Begitu pula Turki, Erdogan mampu mengirim pesawat tempur yang canggih untuk membombardir para pemberontaknya, tetapi ia tidak bisa mengirim pesawat tersebut ke pangkalan militer entitas Yahudi. Lebih parahnya lagi Mesir yang malah membangun tembok besar di perbatasan Rafah dan Mesir dengan alasan agar warga sipil Mesir tidak terkena peluru Israel. Bahkan kini Mesir menolak para pengungsi Palestina dengan alasan ekonomi.

Inilah pengkhianatan para pemimpin negeri-negeri muslim. Seharusnya, darah mereka mendidih saat saudara seakidahnya dibantai. Namun atas nama kepentingan negaranya, mereka menutup mata dan hatinya terhadap nasib warga Palestina. Sungguh mereka akan mendapatkan hisab yang sangat berat di yaumil akhir.

Pengkhianatan penguasa muslim seharusnya semakin menyadarkan kaum muslim akan busuknya konsep negara bangsa (nation state). Atas nama nasionalisme, negeri-negeri muslim enggan mengirimkan tentaranya sebab tidak merasa bahwa Palestina adalah urusan negara mereka. Barat sendiri menciptakan konsep negara bangsa memang untuk mengotak-kotakkan negeri-negeri muslim agar mereka tunduk hanya kepada Barat.

Atas nama nasionalisme, Mesir tega menolak pengungsi Palestina. Arab menolak mengembargo minyak ke entitas Yahudi. Turki tidak mau mengirimkan pesawat tempurnya yang canggih untuk membantu para mujahidin Palestina. Negeri-negeri muslim pun hanya terus membeo atas solusi yang didoktrin PBB, yakni solusi dua negara. Artinya, negeri muslim dipaksa untuk mengakui keberadaan entitas Yahudi sebagai institusi. Inilah penjara besar bagi negeri muslim. Para penguasanya terpenjara oleh kepentingan Barat dan kerakusan akan kekuasaan.

Melihat pengkhianatan penguasa muslim seharusnya menyadarkan umat akan kebutuhan suatu sistem politik/negara yang bebas dari kendali Barat. Sistem yang mampu menghilangkan sekat kebangsaan dan meniscayakan persatuan, yakni Khilafah Islamiah. Sistem yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah ini mampu menggerakkan tentara dan menumbangkan pengkhianatan penguasa negeri muslim.

Solusi Menurut Islam.

Semua realitas yang terjadi ini semestinya menjadi pengingat bahwa harapan penyelesaian masalah Gaza dan Palestina bukan ada pada para penguasa Arab, Turki, Indonesia, dan lainnya. Apalagi ada pada negara-negara adidaya dan lembaga-lembaga internasional yang justru dibuat dan disetir untuk menjadi alat melanggengkan penjajahan mereka atas dunia.

Umat semestinya sadar bahwa sejatinya urusan Gaza, Palestina, ini ada pada tangan-tangan mereka karena sejatinya merekalah pemilik hakiki kekuasaan. Di tangan merekalah hak untuk memilih penguasa yang siap menjalankan syariat Islam, termasuk yang siap mengurus dan menjaga rakyatnya dari segala bentuk kezaliman dan upaya penjajahan.

Namun sayangnya, kekuasaan itu telah lama direnggut paksa oleh para penjajah dan diberikan pada para anteknya dengan berbagai cara. Yang paling halus tapi dampaknya fatal adalah dengan penerapan sistem sekuler demokrasi di negeri-negeri Islam. Dengan sistem ini, umat dibiarkan merasa menjadi pemilik kekuasaan, padahal sejatinya mereka hanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang haus kekuasaan.

Oleh karenanya, tidak cukup hanya menuntut penguasa membela Gaza dengan turun ke jalan. Umat harus berupaya mewujudkan kepemimpinan yang benar-benar berlandaskan Islam, yakni seorang khalifah yang berfungsi sebagai rain (pengatur) dan junnah (penjaga) bagi umat dengan menerapkan hukum-hukum Islam.

Khalifah juga tidak akan tunduk pada kekufuran karena Islam jelas-jelas mengharamkan. Khalifah bahkan akan memobilisir seluruh kekuatan, termasuk memimpin jihad, mengerahkan tentara dan senjata, demi membela umat dan menghilangkan segala bentuk kezaliman, termasuk membela muslim Gaza. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim).

Sungguh saat ini posisi umat islam sedang berada di titik nadir berbagai bidang kehidupan. Jumlah mereka yang 2,4 milyar jiwa atau sekira 25% penduduk dunia, nyatanya tidak mampu mewarnai, apalagi memimpin peradaban dunia. Kondisi umat Islam di dunia hari ini benar-benar seperti gambaran Rasulullah saw., yakni seperti buih di lautan atau seperti hidangan yang diperebutkan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.


Share this article via

20 Shares

0 Comment