| 173 Views

Demokrasi Langgengkan Tuyul Berdasi Tetap Beroperasi

Oleh : Anita Humayroh
Aktivis Muslimah dan Tenaga Pendidik

Siapa si yang ga kenal tuyul. Tuyul yang dalam kepercayaan masyarakat Indonesia, khususnya dalam mitos Jawa, adalah sosok makhluk halus berwujud seperti anak kecil. Tuyul dipercaya sering dipelihara oleh orang-orang untuk membantu mereka mencuri uang atau harta dari orang lain. Menurut mitos, pemilik tuyul harus melakukan ritual tertentu dan memberikan sesajen agar tuyul tersebut tetap patuh dan membantu dalam tindakan yang diinginkan. Tuyul sering digambarkan sebagai makhluk kecil, berkepala botak, dan bersifat nakal.

Namun apa jadinya jika tuyul itu kita jadikan sebagai satu sosok yang suka mencuri, namun dalam jumlah yang bikin ngeri. Tuyul-tuyul inilah yang banyak bertebaran di kursi penguasa negeri. Tuyul berdasi ini adalah produk laris dalam sistem kapitalis.

Tapi tuyul berdasi disini bukan makhluk halus, bajunya bagus, mentereng, lengkap dengan dasi merah yang diapit kerah dan turun dari mobil gagah dan mewah. Hasilnya juga ga tanggung-tanggung, bukan cuma selembar dua lembar uang merah, tapi bisa kebeli rumah dan apartemen di kawasan Sarinah. Mantep ga tuh.

Contoh kasus terbaru belum lama ini, ada 5 tuyul berdasi tertangkap tangan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan lima orang tersangka korupsi dalam kasus korupsi pengadaan lahan di Rorotan, Jakarta, pada Rabu (18/9/2024). KPK mencatat kerugian Negara/daerah setidaknya sebesar Rp 223 miliar atau Rp223.852.761.192 yang diakibatkan penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan tanah oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya pada Tahun 2019-2021. (Kompas.com, 18092024).

Belum lagi saat Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), menetapkan mantan Wakil Bupati (Wabup) Sumba Barat, Marthen Ngailu Toni, sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi (tipikor) yang merugikan negara sebesar Rp 8,4 miliar. Marthen diduga 'bermain' dalam pengadaan tanah untuk pembangunan jalan lingkar perkotaan Waikabubak, Sumba Barat, dengan pagu anggaran sebesar Rp 9,9 miliar lebih (detikbali.com, 18092024). Tapi tuyul berdasi yang ga kaleng-kaleng masih dijuarai oleh para tuyul berdasi dari PT Timah Tbk pastinya. Bahkan Kejaksaan Agung (Kejagung) masih mengusut kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Karena kasus tersebut menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun (detikNews.com, 29052024).

Para tuyul berdasi ini punya keahlian yang sama dengan tuyul asli, yaitu bisa menghilang. Mereka bebas berkeliaran dengan nyaman walaupun telah merugikan banyak orang. Para tuyul berdasi ini nyatanya tak pernah musnah dari panggung demokrasi. Ini semua terjadi karena memang sistem bobrok saat ini tak pernah becus dalam memutus akar masalahnya. Sistem rusak saat ini menjadikan aktivitas "maling" bukanlah sebatas aktivitas individu, tetapi juga aktivitas kelompok yang sistemik. Nyatanya ditengah era kemiskinan ekstrem saat ini, para tuyul berdasi tetap eksis melakukan aksi mereka. Lemahnya hukum dan para penegak hukum negeri ini melenggangkan aksi mereka. Si tuyul berdasi yang seharusnya merasakan hukuman dari setiap perbuatan, justru di fasilitasi dengan segudang kemewahan semasa kurungan. Belum lagi adanya grasi dan remisi yang tidak membuat si tuyul berdasi jera atas perbuatannya. Inilah cacat bawaan dari sistem kapitalis-sekuler yang mengubur rasa kemanusiaan dalam benak manusia yang hidup didalamnya. Kecuali tebalnya keimanan yang menghujam dada. Jadi, ya operasi tuyul berdasi ini, pasti akan tetap eksis dan tetap beroperasi.

Kasus para "maling" memang hanya dapat dimusnahkan apabila sistem yang dipakai oleh penguasa adalah sistem yang sempurna. Faktanya, sistem yang sempurna tidak pernah kita temukan dalam sistem selain Islam. Hanya sistem Islam yang mampu mencegah bahkan memberatkan kasus-kasus tuyul sampai ke akar-akarnya.

Islam memiliki 3 pilar penegak hukum didalamnya, yaitu :

Pertama, ketakwaan individu yang senantiasa mendorong siapapun untuk berikan pada hukum Syara'. Sehingga andaikan ada peluang bagi para "maling" ini untuk melakukan aksinya, mereka terlebih dahulu meyakini bahwa perbuatan tersebut pastilah mengundang murka Allah SWT. Kedua, yakni adanya kontrol penuh dari masyarakat. Kontrol individu maupun masyarakat sangat dibutuhkan karena siapapun orangnya, mereka memiliki potensi untuk berbuat salah dan terjerumus kedalam pelanggaran hukum Allah. Bagi mereka yang memiliki kecenderungan hedonis dan bermental instan akan cenderung menempuh jalur cepat dan jalan pintas dalam memenuhi seluruh hajat hidupnya. Dengan adanya kontrol dari masyarakat, negara senantiasa berada dalam pengawasan karena penguasa selalu dalam pantauan ummat. Bahkan, demi menumbuhkan rasa keberanian rakyat dalam mengoreksi setiap aktivitas penguasa, Khalifah Umar bin Khattab pada awal pemerintahannya pernah mengatakan, "Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam maka luruskan aku walau dengan pedang".

Ketiga, yang tak kalah penting adalah diterapkannya syari'at Islam secara Kaffah, yang menjadi petunjuk dalam aktivitas bernegara, sampai penanganan apa yang kelak diberlakukan oleh para pelaku perampasan harta berikut dengan segala aturan dan hukumannya secara utuh dan menyeluruh. Negara Islam pun memastikan periayahan secara total kepada masyarakat yang memiliki potensi besar terjadinya aktivitas korup tersebut. Dengan cara sistem penggajian yang layak, pelarangan segala bentuk rasuah, perhitungan kekayaan yang tepat, sampai kepada penyederhanaan birokrasi dan sistem persanksian yang setimpal terhadap setiap pelanggaran.

Itulah bagaimana kesempurnaan Daulah Islam yang mampu mencegah segala jenis perbuatan "maling" dalam tubuh negara Karena sejatinya, tindakan yang mereka lakukan telah merugikan banyak pihak.

Wallahu alam bisshowab


Share this article via

85 Shares

0 Comment