| 307 Views
Bencana Berulang, Butuh Mitigasi Komprehensif

Oleh : Marwah
Aktivis Dakwah Kampus
Sungguh menyayat hati. Akhir-akhir ini bencana demi bencana terjadi secara beruntun di berbagai pelosok negeri. Di antaranya terjadi bencana di tiga wilayah Sumatera Barat yakni Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, dan Kota Padang Panjang, berupa banjir bandang dan lahar dingin Gunung Marapi Akibat terjangan bencana tersebut, 47 orang kehilangan nyawanya per Senin (13-5-2024).
Tak hanya itu, 193 rumah di Kabupaten Agam dan 84 rumah di Tanah Datar mengalami beberapa kerusakan. Sejumlah infrastruktur, seperti jembatan dan masjid, juga rusak. Dan lalu lintas dari Kabupaten Tanah Datar menuju Padang dan Solok pun lumpuh total. (BBC Indonesia, 13-5-2024).
Konon katanya, ini menjadi “bencana terparah” yang pernah terjadi selama 150 tahun terakhir di Kabupaten Agam. Selain itu, sejak enam bulan terakhir bencana di sekitar Gunung Marapi rupanya tidak terjadi saat ini saja, tetapi terjadi secara beruntun.
Selain itu, sejak 3 Mei 2024, banjir parah juga melanda Kabupaten Konawe Utara, di Sulawesi Tenggara. Curah hujan yang tinggi menyebabkan air Sungai Lalindu meluap hingga trans Sulawesi lumpuh total dan 300 kendaraan terjebak banjir. Akibatnya, tujuh kecamatan terdampak dan 3.121 warga mengungsi. Selain itu, dua desa terisolasi. Sebanyak 729 unit rumah dan 327,7 hektare lahan pertanian dan perkebunan terendam. Beberapa prasarana umum seperti dua tempat ibadah, satu jembatan, dan satu sekolah dasar ikut terendam banjir.
Butuh Mitigasi Komprehensif
Berulangnya bencana yang memakan banyak korban dan rusaknya fasilitas umum bagi masyarakat, menunjukkan bahwa kita butuh upaya mitigasi komprehensif agar bisa optimal mencegah bencana serta menyelamatkan masyarakat. Sebelum itu, kita harus melihat persoalan bukan hanya pada aspek hilir, yakni penyelesaian setelah bencana terjadi. Tetapi, kita juga perlu merunut ke aspek hulu (penyebab bencana) sehingga kita dapat memperoleh solusi preventif yang efektif dan efisien.
Pada hakikatnya, terjadinya bencana bukan hanya karena faktor alam yang menimpa wilayah tertentu, tetapi berkaitan erat dengan kebijakan pembangunan negara selama ini yang destruktif. Contohnya, ketika negara itu membiarkan adanya penebangan hutan secara berlebihan, maka dampaknya adalah bencana banjir. Juga penggunaan kawasan hutan yang rawan bencana untuk aktivitas wisata, tentu membahayakan banyak jiwa didalamnya.
Sungguh miris, selama ini kebijakan pembangunan bersifat eksploitatif sehingga memberikan efek buruk pada lingkungan. Pemerintah hanya peduli pada peningkatan ekonomi dan abai pada kelestarian lingkungan, padahal keuntungan ekonomi yang didapatkan sangat tidak sebanding dengan kerugian berupa kerusakan lingkungan.
Pembangunan yang berlangsung eksploitatif merupakan karakteristik pembangunan kapitalistik yang menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan utama. Negara hanya mementingkan pendapatan negara dari pajak yang disetor para pengusaha, namun dilain sisi menutup mata terhadap kerusakan parah ulah tangan mereka sendiri.
Tak kalah mencengangkan, hadirnya oknum-oknum aparat yang bertugas sebagai beking perusakan lingkungan demi keuntungan pribadi menjadikan negeri ini langganan bencana. Bencana ini akan terus terjadi pada masa yang akan datang jika tidak dihentikan dengan mengubah arah pembangunan negara secara komprehensif.
Kebijakan Pembangunan dalam Sistem Islam
Berbeda dengan sistem islam, pembangunan negara ditetapkan dengan memperhatikan kebutuhan rakyat dan pelestarian alam. Keduanya diperhatikan, tanpa mengabaikan salah satu diantaranya. Negara menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat dari aspek ekonomi dan sekaligus menjaga lingkungan karena keduanya sama-sama bagian dari riayah (pengurusan) negara terhadap rakyatnya.
Adapun kebijakan pembangunan dalam Islam tidak eksploitatif ataupun destruktif karena berdasarkan pada panduan Ilahi, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.” (QS Al-A’raf: 56).
Khilafah akan mewujudkan yang namanya mitigasi yang bersifat komprehensif, sehingga dengan itu mampu mendorong langkah antisipasif. Dengan demikian akan mencegah jatuhnya banyak korban dan memperkecil dampak kerusakan.
Beberapa hal yang akan dilakukan Khilafah di antaranya adalah pertama, mengatur proses pengambilan hasil hutan sesuai rasio yang tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Kedua, mengoptimalkan pengawasan hutan oleh polisi agar tidak terjadi penebangan yang berlebihan oleh pihak tak bertanggung jawab. Ketiga, yakni menggalakkan penanaman pohon secara merata untuk menjaga kelestarian hutan. Keempat, melakukan pengawasan pada kondisi sungai sehingga dapat mencegah hal-hal yang bisa menurunkan fungsi sungai.
Kelima, negara tidak akan menjadikan sektor pariwisata sebagai andalan pemasukan kas negara. Sebab fasilitas wisata dibangun sebagai bagian dari layanan negara pada rakyat serta dilakukan berdasarkan pengkajian yang melibatkan beberapa pakar lintas bidang, termasuk lingkungan. Keenam, memberikan sanksi yang tegas kepada para pelanggar aturan pelestarian hutan, baik itu pelaku lapangan, pengusaha, maupun oknum aparat yang menjadi beking.
Demikianlah keseriusan Khilafah dalam menjalankan tugasnya untuk melakukan mitigasi komprehensif sejak aspek hulu, sehingga mampu mencegah terjadinya bencana serta meminimalkan jumlah korban akibat bencana tersebut. Inilah sistem yang layak untuk sama-sama kita tegakkan ditengah-tengah ummat hari ini. Wallahualam bissawab.