| 386 Views
Benarkah Nasib Guru Membaik, Bila Tunjangannya Naik ?

Oleh : Rosi Kuriyah
Muslimah Peduli Umat
Presiden Prabowo menegaskan bahwa untuk memastikan guru mendapatkan penghargaan yang layak atas kontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, maka beliau mengambil kebijakan dengan menaikan alokasi anggaran untuk kesejahteraan guru ASN dan non-ASN pada tahun 2025 menjadi Rp 81,6 trilliun, naik dibanding tahun sebelumnya sekitar Rp 16,7 trilliun. Hal ini merupakan "kado manis" untuk para guru pada momen Hari Guru Nasional, 25 November 2024.
Rincian kenaikan gaji bagi guru ASN mendapat tambahan kesejahteraan yaitu sebesar satu kali gaji pokok. Lalu Rp 2 juta untuk tunjangan profesi bagi guru non-ASN.
Namun untuk guru non- ASN harus memenuhi syarat tertentu bila tidak maka tidak akan mendapat tunjangan tersebut. Syaratnya yaitu harus mempunyai 24 jam mengajar (jam tatap muka dengan peserta didik), tetapi faktanya guru non-ASN yang lolos PPG karena masih kurang dari 24 jam sehingga tidak mendapatkan gaji sebesar itu. Selain itu, guru non-ASN juga harus memiliki pendidikan Diploma IV (D4) atau sarjana (S1).
Adanya kenaikan tunjangan guru tidak sebanding nilainya jika dihadapkan dengan keadaan saat ini. Karena, biaya hidup banyak, bukan masalah konsumsi bahan pangan , inflasi tetapi juga biaya sandang dan papan atau biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan, transportasi/BBM sampai biaya /kuota data/komunikasi.
Dalam hal ini, mengungkap bahwa guru sebagai pekerja dengan adanya perubahan gaji guru ini. Mengungkap juga bahwa gaji guru merupakan faktor produksi pada roda ekonomi yang ada di sektor pendidikan yang bersifat komersial juga kapitalistik. Inilah sistem dari Kapitalisme.
Jauh dari kata sejahtera, nasib guru dianggap baik karena adanya penambahan tunjangan yang jumlahnya tidak seberapa dibanding jasa guru bagi peserta didiknya yang tidak bisa dinilai dengan seberapa besar nominal yang diterima.
Dalam Kapitalisme, posisi Guru dalam pendidikan dipandang sebagai komoditas ekonomi bagian dari faktor produksi, sehingga guru akan berjuang sendiri untuk menutupi kekurangan biaya kehidupannya. Sedangkan salah satu faktor penunjang pendidikan berkualitas adalah gaji guru yang layak.
Dalam Kapitalisme, pengelolaan pendidikan dengan berbasis bisnis dari penguasa kepada rakyatnya. Sehingga biaya pendidikan yang tinggi dibebankan kepada rakyat.
Sebaliknya, gaji guru dibuat seminim mungkin agar jumlah keuntungan yang diperoleh menjadi besar. Selain itu, nasib guru lebih memprihatinkan selain soal gaji, yaitu dengan adanya aspek administrasi yang rumit juga beban pekerjaan yang banyak.
Dalam hal penentuan kualitas pendidikan bukan hanya keberadaan guru, tetapi adanya kurikulum yang harus diperbaiki bila pemerintah berniat tulus untuk mencerdaskan bangsa. Selain itu juga ada faktor lain yaitu sinergi proses pendidikan diantara individu peserta didik, keluarga, sekolah dan masyarakat. Keberadaan sekolah dengan biaya mahal dan kurikulum internasional yang ada saat ini tidak menjamin sepenuhnya peserta didik akan menjadi generasi emas apalagi sebagai pembangun peradaban masa depan.
Dalam kehidupan sistem Kapitalisme sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) kinerja guru sangat berat dan menyulitkan peran mereka. Sebagai pendidik, guru harus mampu memberi contoh atau teladan yang baik bagi murid. Namun murid juga memiliki kebebasan berprilaku akibat dari hasil kurikulum pendidikan sekuler sehingga hal ini berlawanan dengan proses pendidikan yang diberikan guru kepada murid.
Adanya infrastruktur yang jauh dari layak di banyak daerah, seperti jalan dan jembatan yang rusak menuju lokasi sekolah, minimnya angkutan umum dari pemukiman warga ke sekolah juga sarana dan prasarana pendidikan baik gedung maupun fasilitas belajar yang sangat kurang.
Maka semua itu jelas menunjukkan keberadaan pemerintah memposisikan dirinya bukan sebagai penanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Karena fungsi kepemimpinan penguasa saat ini tidak mengarah untuk mengurusi kepentingan rakyat sehingga guru dan murid sama-sama berada di ujung tanduk. Tampak pula adanya komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan dikala biaya pendidikan mahal yang dijadikan standar penentu kualitas pendidikan, padahal pendidikan mahal tidak selalu menghasilkan positif terhadap kualitas pendidikan.
Berbeda jauh dengan sistem Islam dalam mengatur bidang pendidikan. Uang kas Negara dianggarkan untuk biaya pendidikan. Negara juga menyediakan guru selaku pendidik dengan kualitas yang baik , menyediakan fasilitas pendidikan, infrastruktur, sarana dan prasarana . Jadi seluruh rakyat mendapat pendidikan dengan gratis.
Islam mengharuskan Negara sebagai peri'ayah melalui pemimpinya bertanggungjawab atas seluruh urusan rakyatnya untuk menjamin kemaslahatan umum termasuk dalam hal pendidikan.
Dalam Islam, pendidikan dan ilmu pengetahuan itu merupakan perkara yang penting juga strategis yang tidak bisa diambil hanya dari keuntungan materi saja.
Dalam Kepemimpinan Islam, pembiayaan pendidikan berasal dari dua sumber pendapatan Baitulmal yaitu:
Pertama dari hasil ghanimah, khumus (seperlima rampasan perang)dari pos fai dan kharaj, jizyah dan dharibah (pajak). Ketika kas Baitulmal kosong maka pajak diambil dari laki-laki muslim yang kaya. Ini semua dari kepemilikan negara. Kedua dari hasil sumber kekayaan alam, tambang minyak dan gas, hutan, laut dan hima( penggunaan yang dikhususkan pada kepemilikan umum) semua ini berasal dari pos kepemilikan umum.
Semua tingkat pendidikan mulai dari dasar, menengah dan tinggi juga menyangkut gaji guru/dosen, pengadaan infrastruktur, sarana dan prasarana pendidikan seluruh pembiayaannya menjadi kewajiban negara. Jadi Negara akan menyediakan guru terbaik untuk mendidik dan mencerdaskan generasi masa depan, juga memastikan agar guru menerima gaji yang layak tanpa harus ada tambahan maupun tunjangan tertentu.
Dalam sejarah masa Khilafah Abbasiyyah ternyata gaji guru sangat fantastis dibanding jaman sekarang. Pada saat itu gaji guru yaitu 1.000 Dinar pertahun atau kurang lebih 83,3 Dinar perbulan. Bila nilai 1 Dinar adalah 4,25 gram emas sedangkan saat ini harga emas Rp.1,5 juta/gram, artinya gaji guru pada masa itu kurang lebih Rp.6,375 miliar pertahun atau Rp 531 juta setiap bulan.
Itulah sebuah gambaran kesejahteraan guru pada masa peradaban Islam. Guru dan ulama dikenal dengan sebutan pahlawan dengan tanda jasa penuh sehingga guru juga ulama sangat diperhatikan, dimuliakan dan dihargai jasa-jasanya. Sungguh kita rindu akan kepemimpinan Islam yang dapat mensejahterakan rakyat dan guru termasuk didalamnya.
Wallahu'alam bishshawwab.