| 298 Views
Badai PHK, Keniscayaan dalam Sistem Kapitalisme

Oleh : Iven Cahayati Putri
Pegiat Literasi
Gelombang PHK terus terjadi. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat hampir 53.000 tenaga kerja sudah menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia sepanjang Januari hingga September 2024. Dilansir data dari Kemenaker, pada bulan September 2024, tercatat ada tambahan jumlah korban PHK sebanyak 6.753 orang. Sehingga, bila digabung sejak Januari lalu maka total pekerja yang terkena PHK mencapai 52.933 orang (kompas.com, 29-09-2024).
Menurut Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri, penyumbang terbesar angka PHK tahun ini adalah sektor manufaktur sebesar 24.013 tenaga kerja. Selain itu, sektor aktif jasa lainnya 12.853 tenaga kerja, serta sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang 3.997 tenaga kerja.
Indah menilai, salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka PHK karena perusahaan tidak mampu bertahan dalam kompetisi bisnis serta ekspor yang menurun karena situasi ekonomi negara lain juga kurang bagus.
Tidak bisa dimungkiri jika kompetisi bisnis berlaku dalam dunia pasar. Siapa yang bertahan dalam kompetisi ia akan langgeng, dan siapa yang tidak mampu bertahan maka perusahaan siap gulung tikar. Korbannya tentu saja bukan hanya pemilik usaha, melainkan banyak karyawan yang diberhentikan paksa.
PHK memang seperti teror bagi para pekerja, rasanya setiap saat berada dalam antrian pemutusan kerja. Meski setelah PHK mendapatkan pesangon, namun tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk mendapatkan pekerjaan yang baru pun sangat sulit karena lapangan kerja sedikit dan persaingan yang banyak. Akhirnya, menambah pengangguran baru. Cukup menuai tanya, tidak adakah upaya pemerintah untuk menyolusi rantai PHK?
Sebenarnya kita pun tidak bisa menampik jika pemerintah turut hadir memberikan solusi jangka pendek. Ungkapan Direktur Program Indef Eisha Rachbini, bahwa pemerintah harus fokus pada upaya menjaga daya beli masyarakat. Beberapa langkah yang bisa diambil, seperti pemberian subsidi kepada pekerja yang terkena PHK, menyediakan program pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mereka agar bisa bekerja di sektor lain, dan menghubungkan mereka dengan peluang kerja baru.
Sementara, cara untuk mengatasi masalah PHK secara mendasar, Eisha menyebut pemerintah perlu melakukan transformasi ekonomi jangka panjang. Beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan, antara lain reindustrialisasi, peningkatan iklim usaha, optimalisasi hilirisasi sumber daya alam, dan mendatangkan investasi yang dapat membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat Indonesia.
Hanya saja, solusi di atas hanya sebatas teori. Jangankan membuat para pekerja lebih tenang dalam bekerja, pasalnya gelombang PHK besar-besaran tetap saja membayangi. Kemiskinan pun sulit teratasi.
Perlu diketahui untuk memberikan solusi yang tepat, pemerintah perlu menilik akar persoalannya. Misalnya saja perusahaan yang terkadang menekan pengeluaran untuk meminimalisasi biaya produksi. Sehingga, upah pekerja yang menjadi sasaran. Bahkan memangkas jumlah pekerja agar tidak membebani perusahaan.
Di samping itu, dominasi produk impor juga tidak lepas dari persoalan yang satu ini. Ketika perusahaan barang-barang impor eksis di pasaran, akibatnya perusahaan lokal gulung tikar. Alhasil, berdampak pula pada nasib pekerja di dalamnya.
Mestinya pemerintah banyak melakukan evaluasi terhadap regulasi yang ada, berkaitan dengan ketenagakerjaan. Faktanya, berulangnya fenomena PHK besar-besaran, pemerintah tidak siap memberikan jalan keluar yang cepat dan tepat. Setelah para pekerja terpaksa ikhlas dan menyepakati pemutusan kerja, negara tidak sigap dengan menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Sebab harapan setelah menerima nasib di PHK, pekerja bisa mendapatkan pekerjaan pengganti untuk menyambung hidup. Tapi ternyata, PHK tidak terbendung dan masa depan pekerja korban PHK pun tidak jelas arah.
Persoalan kompleks para pekerja ini tidak lepas dari sistem negara yang diterapkan saat ini. Bukan berarti masalah PHK yang berulang dianggap sederhana dan penyelesaiannya pun cukup jangka pendek. Lebih dari itu, persoalan ini bersifat sistemik, yang menjadikan lingkup ketenagakerjaan karut-marut yang memicu masalah pekerja yang tak berkesudahan.
Sistem ini tidak mampu mewujudkan kesejahteraan bagi para pekerja, sekaligus menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi dan tanggungannya. Solusi tambal sulam yang ditawarkan, realitanya hanya menambah panjang persoalan para pekerja.
Sangat jauh dengan kehidupan pekerja dalam sistem Islam. Perlu dipahami bahwa keberadaan negara dalam sistem Islam sebagai pengurus (raa'in) dan penanggung jawab (mas'ul). Terkait PHK, sungguh sangat mustahil terjadi dalam sistem Islam, sebab negara akan mewajibkan laki-laki untuk bekerja sebagaimana perintah syariat Islam, termasuk ia hadir untuk menyediakan lapangan kerja bagi seluruh rakyat.
Negara Islam pula sangat mandiri dalam pengelolaan keuangan dan terpusat di baitul mal. Selain itu, negara membuka industri untuk mendukung pengelolaan SDA sehingga masyarakat dipekerjakan di dalamnya. Perusahaan yang mengelolanya akan mengatur pemasukan dan pengeluaran agar tidak merugikan pekerjanya. Hal ini pun didukung dengan program negara untuk mengadakan pelatihan pekerja di sektor-sektor strategis. Sehingga tidak ada dalih untuk mempekerjakan tenaga asing. Pun jika terpaksa mempekerjakan, statusnya hanya sebagai karyawan atau tenaga kerja yang digaji.
Negara Islam pun mendukung modal para pelaku usaha dengan menyediakan pinjaman non riba, dan negara menghidupkan tanah mati untuk sektor pertanian, peternakan, atau tambak.
Dalam Islam, semuanya dilakukan oleh negara untuk memakmurkan rakyat. Negara pula memberikan sanksi kepada pemerintahnya jika melakukan hal bukan untuk kepentingan umat.
Wallahu'alam bisshowwab.