| 31 Views
Kisruh Pagar Laut, Oligarki Menggenggam Indonesia

Oleh : Nuriati
Indonesia sebagai negara hukum tidak boleh kalah dari oligarki. Supremasi hukum adalah tiang utama yang menjaga keadilan dan kedaulatan rakyat. Hal itu disampaikan Ketua Presidium Pejuang Bela Negara (PPBN) Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan menyoroti polemik pemasangan pagar laut di Tangerang sepanjang 30,16 km tanpa izin yang masuk di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.
Jaya Darmawan melanjutkan pernyataannya, “Pemagaran laut ini adalah puncak gunung es penguasaan oligarki. Ini adalah contoh nyata bagaimana kepentingan segelintir pihak dapat merampas hak masyarakat pesisir dan merusak ekosistem kelautan. Dugaan kuat adanya “jual beli” pantai, laut, dan tanah timbul oleh oknum aparat desa dan BPN menunjukkan adanya sistem terorganisasi yang bekerja melawan hukum.” (RMOL.ID, 14/01/2025).
Deretan pagar bambu yang berdiri di perairan Kabupaten Tangerang itu telah diketahui setidaknya sejak Juli 2024, menurut kesaksian warga dan kelompok advokasi sipil yang diwawancarai oleh BBC News Indonesia. Namun pagar itu baru dicabut oleh pemerintah setelah persoalan ini viral di media sosial (BBC.COM, 31/01/2025).
Ketua Front Kebangkitan Petani dan Nelayan, Heri Amrin Fasa mengatakan pada September 2024, kelompok nelayan tradisional telah mengadu ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten. Pejabat dinas mengatakan pagar laut didirikan tanpa izin namun mereka tidak berwenang mencabutnya. Merasa tidak menemukan solusi, Heri dan kelompok nelayan lantas mengadu ke Ombudsman di Jakarta.
Eks Menko Polhukam Mahfud M.D. menuding kepolisian, kejaksaan dan KPK takut menindak pejabat negara yang terlibat dalam kasus pagar laut di Tangerang. Seperti yang disebut Menteri Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia Nusron Wahid di DPR, Mahfud bilang bahwa penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di kawasan laut merupakan pelanggaran hukum. Mahfud menuduh terdapat “permainan” di antara pengusaha dan pejabat pertanahan terkait pagar laut ini.
Hegemoni Oligarki
Menurut pengamat politik Fatma Sunardi, adanya pihak swasta yang bisa menguasai laut diduga karena pengaruh oligarki lebih kuat menggenggam negeri ini. “Praktik oligarki telah menjadi jalan penguasaan laut oleh konglomerat. Akibatnya, pepatah yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin berlaku,” ujarnya kepada MNews, Jumat (7-2-2025).
Kasus pagar laut, ungkapnya, yang diduga dimiliki oleh salah satu konglomerat negeri telah membeberkan fakta betapa penguasaan harta milik rakyat dikapitalisasi begitu parah. “Kasus pagar laut mengungkap kepemilikan rakyat dikapitalisasi secara ugal-ugalan. Masalahnya, yang dikuasai tidak lagi hutan atau lahan, tetapi laut. Terbayang, nilai ekonomis, jika benar pemagaran laut akan diorientasikan untuk reklamasi dan pembangunan kawasan elit dan tidak heran tingkat ketimpangan Indonesia tetap tinggi,” paparnya.
Kasus tersebut, katanya, makin mendapat sorotan karena penerbitan SHGB di kawasan laut. “Satu hal yang di luar nalar sehat. Tentu saja penting bagi kita mencermati kasus pagar laut, tidak hanya dari sisi merugikan para nelayan, tetapi kebijakan negara membahayakan nasib rakyat negeri ini. Bagaimana tidak, lembaga negara dan pejabat, dari kementerian hingga kepala desa terlibat dalam kasus ini,” jelasnya.
Ia menegaskan, kuatnya dukungan pemerintah tidak bisa dilepaskan dari begitu mengakarnya praktik oligarki di negeri ini. “Sistem politik demokrasi yang menawarkan kesetaraan bagi warga negara nyatanya hanya teori. Penerbitan SHGB di atas laut menerangkan bahwa kebijakan dan implementasi kebijakan dengan mudah berpihak pada kepentingan segelintir konglomerat demi pengembangan bisnis mereka,” bebernya.
Kisruh mengenai pagar laut ini pertanda bahwa hukum yang berlaku di negeri lemah. Pejabat hingga aparat desa tak sungkan-sungkan dalam melanggar hukum. Inilah aturan yang dibuat oleh manusia yang memiliki keterbatasan, kapan saja bisa dilanggar jika tidak bisa mendatangkan manfaat bagi pihak-pihak yang berburu keuntungan. Inilah produk dari tatanan kehidupan kapitalisme sekularisme.
Dalam kisruh pagar laut ini, tampak kolosal oligarki menggenggam Indonesia dengan kuat hingga tidak lagi memperhatikan kepentingan nelayan dan pembudi daya dalam mencari nafkah. Kolosal oligarki ini memiliki kepentingan untuk memperoleh lahan demi memperluas bisnisnya. Dengan memanfaatkan celah aturan yang ada, lahan pun bisa didapatkan walaupun saat ini masih berupa laut. Ke depan, dengan melakukan reklamasi, laut yang sudah tersertifikasi bisa menjadi lahan yang siap untuk dibangun. Proyek properti di daratan tidak pernah dirasa cukup sehingga laut pun dikaveling untuk dijadikan daratan demi memperoleh keuntungan lebih banyak lagi.
Dalam situasi kisruh ini, sejatinya negara hadir terdepan dalam membela kedaulatan wilayah laut dan nasib rakyat. Namun, negara justru membiarkan kolosal oligarki kapitalis menguasai wilayah yang seharusnya menjadi milik umum seluruh rakyat. Bahkan, sebagian “oknum” pejabat negara menjadi bagian dari oligarki penguasa yang memuluskan jalan para kapitalis menggenggam laut. Ini tampak dari keluarnya sertifikat HGB dan SHM untuk laut yang secara hukum merupakan milik umum.
Pemerintah seharusnya bisa memastikan tiap pembangunan zona pesisir memenuhi persyaratan hukum dan tidak merugikan ekosistem maupun masyarakat lokal. Sebagai negara maritim, laut merupakan jantung kedaulatan Indonesia. Kasus pagar laut menunjukkan lemahnya negara menjaga aset strategis tersebut.
Solusi Islam
Sistem kapitalisme-oligarki sangat berbeda dengan sistem Islam. Sistem Islam mengatur urusan masyarakat dengan syariat Allah. Kedaulatan dalam pandangan Islam itu di tangan syariat, bukan di tangan manusia. Penguasa merupakan pelaksana dan penerap atas apa yang Allah gariskan dalam syariat-Nya. Negara Islam (Khilafah) merupakan negara yang memiliki kedaulatan penuh untuk mengurus urusan negara dan menyejahterakan rakyatnya.
Penguasa di dalam Islam dilarang menyentuh/mengambil harta milik umum dengan alasan apa pun. Islam mengakui adanya harta milik umum. Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam buku Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah) hlm. 87 menjelaskan bahwa harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya, terkategori milik umum.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan Imam Abu Daud dan Ahmad, “Mina adalah milik orang-orang yang lebih dahulu sampai.” Makna hadis ini, bahwa Mina adalah milik bersama di antara kaum muslim dan bukan milik perseorangan sehingga orang lain dilarang memilikinya atau menempatinya.
Berdasarkan hal ini, laut terkategori milik umum bagi seluruh rakyat. Tidak boleh ada individu (perorangan maupun korporasi) yang memiliki laut. Demikian pula, tidak boleh ada individu yang menguasai/memagari laut. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR Bukhari). Artinya, tidak ada penguasaan/pemagaran atas harta milik umum, kecuali oleh negara. Pelanggaran terhadap hukum tersebut adalah kemaksiatan dan negara akan memberi sanksi tegas bagi pelakunya.
Negara seharusnya berfungsi sebagai pengurus dan pelindung rakyat sehingga kesejahteraan rakyat terjamim. Semua ini akan terwujud jika aturan bersumber dari hukum syarak bukan hukum dari akal manusia yang terbatas.
Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari). Juga dalam hadis, “Sesungguhnya imam (khalifah) itu junnah (perisai), (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam rangka mengurus urusan rakyat itu, negara Islam (Khilafah) akan menerapkan tata aturan menurut syariat Islam kafah. Khilafah adalah negara mandiri dan bebas dari sandera kepentingan tertentu. Khilafah tidak tunduk kepada manusia, melainkan hanya tunduk kepada aturan Allah dan Rasul-Nya karena kedaulatan hanya ada di tangan hukum syarak. Dengan ini, pengaruh gurita kepentingan seperti hegemoni oligarki dalam korporatokrasi bisa dicegah.
Sistem ekonomi Islam juga mengatur konsep kepemilikan harta dan membaginya menjadi tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Perihal laut, keberadaannya adalah termasuk harta kepemilikan umum yang jika dikuasai oleh individu jelas menghalangi individu lain untuk bisa mengakses dan memanfaatkannya. Laut akan dikelola negara dan hasilnya akan dikembalikan pada rakyat.
Jika ada pihak-pihak yang berusaha memprivatisasi laut sebagaimana kasus pagar laut, Khilafah akan tegas menindak tiap pelanggar hukum tanpa pandang bulu. Ini sebagaimana dalam hadis, “Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, mereka biarkan (tidak dihukum). Namun, jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kekuasaan adalah amanah yang berat dan mendatangkan siksa bagi pemangkunya di akhirat jika menghianati amanah. Sudah saatnya kembali menerapakan sistem islam secara kaffah agar hak-hak rakyat terlindungi, lepas dari genggaman kolosal oligarki dan hidup sejahtera. Aamiin.
Wallahualam bissawab.